Perlu Lompatan untuk Atasi Ketertinggalan

Untuk membangun kawasan Kepulauan Madura, Jawa Timur, diperlukan lompatan lantaran beratnya tingkat ketertinggalan masyarakat Madura mengingat potensi kawasan itu sebenarnya sangat besar. Lompatan itu dalam arti harus menggelar industrialisasi dan menerima modernisasi. Investor swasta, bahkan asing, harus diundang masuk.

Keberadaan Jembatan Suramadu sepanjang 5,438 kilometer yang melintas di atas Selat Madura (Laut Jawa), yang menghubungkan Madura dengan Surabaya, hendaknya dapat mempercepat proses industrialisasi di Madura. Jembatan itu tidak sekadar menjadi sarana transportasi.

Demikian benang merah pemikiran yang mengemuka dalam diskusi panel ”Madura Pasca-Jembatan Suramadu”, yang diselenggarakan harian Kompas di Gedung Kompas Gramedia, Surabaya, Selasa (23/3).

Tampil sebagai panelis adalah Wakil Bupati Bangkalan Syafik Rofii; Kepala Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Eddy Purwanto; pengamat ekonomi yang juga putra Madura, Didik J Rachbini; pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Kabupaten Sumenep, KH Achmad Fauzi Tijani; dan sosiolog dari Universitas Trunojoyo, Ekna Satriyati. Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman M Siahaan menjadi moderator pada diskusi itu.

Kepulauan Madura terdiri atas 122 pulau besar dan kecil. Pulau terjauh adalah Pulau Masalembu, yang lebih dekat dengan Kalimantan Selatan, dan Pulau Pagerungan, yang lebih dekat dengan Sulawesi Selatan. Dibagi dalam empat wilayah kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan di paling ujung timur, Sumenep. Jumlah penduduk Madura sekitar 3,7 juta jiwa. Madura termasuk daerah tertinggal di Jawa Timur.

”Tingkat pendidikan 50 persen penduduk Bangkalan cuma sekolah dasar. Dilihat dari kualitas sumber daya manusia, ini memprihatinkan,” kata Wakil Bupati Bangkalan Syafik Rofii.

Dengan kondisi penduduk Bangkalan yang seperti ini, Syafik melihat industrialisasi di wilayahnya adalah jawaban yang tepat. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Bangkalan menyediakan lahan seluas 3.940 hektar di tiga kecamatan, yaitu Labang, Socah, dan Klampis. ”Cuma masalahnya, setelah ada Jembatan Suramadu, harga tanah mendadak mahal. Sekarang rata-rata per meter persegi Rp 1 juta. Kalau harga tanah sebesar itu, investor mana mau masuk,” kata Syafik. Mahalnya harga tanah bisa jadi karena jatuh ke tangan spekulan.

Didik melihat, kalau industrialisasi menjadi pilihan untuk membangun Madura, diperlukan lompatan. Ia menilai Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pengembangan Wilayah Suramadu harus direvisi karena tidak relevan. Peraturan itu cenderung mengandalkan dana pemerintah untuk membangun Madura. ”Sekarang sulit mendatangkan dana Rp 4,5 triliun (dana pembangunan Suramadu) ke Madura. Harus mengundang investor swasta, bahkan asing,” katanya.

Untuk itu, pemerintah daerah tidak bisa mengesampingkan pemerintah pusat. Investor swasta besar sering tak mau berhubungan dengan pemerintah daerah karena kurang percaya. ”Mereka maunya dengan pemerintah pusat karena ada yang menjamin,” ujar Didik.

Pelabuhan Internasional

Industrialisasi termasuk menjadi fokus agenda Badan Pengembangan Wilayah Suramadu. Sebagian dari lahan seluas 600 hektar di kaki Suramadu sisi Madura juga untuk industrialisasi. Adapun 600 hektar di Bangkalan untuk pelabuhan peti kemas.

Menurut Ketua Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Eddy Purwanto, Madura memiliki potensi besar menjadi pelabuhan perdagangan internasional. Dilihat dari geografisnya, Madura berada di tengah-tengah Indonesia. Dalam perdagangan internasional, alur laut kepulauan Indonesia itu berada sedikit di sebelah timur Madura.

Pada masa depan, diperkirakan muncul rute perdagangan internasional baru yang disebut dengan continent line dari barat ke timur. Kalau kapal-kapal besar sekarang dibatasi Terusan Panama, ke depan setelah Terusan Panama diperlebar, akan ada kapal tanker dan kontainer yang berjalan melayani rute-rute dari barat ke timur. ”Madura akan menjadi persinggahan, seperti Singapura,” kata Eddy.

Prospek pengembangan Madura sebagai pelabuhan berkelas internasional diperkuat dengan semakin sesaknya daya tampung pelabuhan di Indonesia, seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak.

Selain itu, pelabuhan di Indonesia berkedalaman 8-11 meter. Padahal, ke depan, kapal-kapal kontainer besar membutuhkan pelabuhan dengan kedalaman lebih dari 12 meter. ”Madura punya Teluk Tanjung Bulu Pandan dan Tanjung Bumi dengan kedalaman 12 sampai 16 meter,” kata Eddy.

Pemkab Bangkalan bekerja sama dengan PT Lamicitra hendak membangun Pelabuhan Tanjung Bulu Pandan. Namun, tiba-tiba Pelindo hendak membangun pula pelabuhan di dekatnya. ”Akhirnya Lamicitra menghentikan pengurukan karena merasa disaingi Pelindo. Jadi, upaya daerah membangun itu ada kendala dari pemerintah pusat,” kata Syafik. (ANO/ABK)

Artikel terkait:
Ulama Pegang Peranan Strategis
Suramadu Pengungkit Potensi Ekonomi Madura

Sumber: Kompas, Senin, 5 April 2010

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda