Ulama Pegang Peran Strategis
Ulama atau kiai merupakan patron sangat penting bagi masyarakat Madura. Keterpatuhan masyarakat terhadap kiai sangat tinggi. Untuk itu, pelaksanaan pembangunan di Madura, termasuk industrialisasi, harus melibatkan kiai sejak awal.
Adalah pandangan yang sangat keliru bahwa kiai menolak industrialisasi di Madura. Jika kiai bersikap kritis terhadap rencana pemerintah melakukan industrialisasi di Madura, hal itu karena kiai tak ingin industrialisasi berdampak pada peminggiran masyarakat secara sosial ekonomi. Kiai tidak ingin hal itu berdampak pada perusakan moral religiositas.
Namun, kiai juga diharapkan membuka cara pandang terhadap industrialisasi sehingga tidak terjebak pada persepsi bahwa industrialisasi identik dengan kemaksiatan. Macetnya proses industrialisasi di Madura sejak dicanangkan Gubernur Jawa Timur Muh Noer pada akhir dekade 1970-an karena nuansa ”apriori” dari sebagian kiai.
Demikian benang merah pemikiran yang terpintal dalam diskusi panel ”Madura Pasca-Jembatan Suramadu” yang diselenggarakan Kompas di Gedung Kompas Gramedia Surabaya, 23 Maret.
Tampil sebagai panelis adalah Wakil Bupati Bangkalan KH Syafik Rofii; Kepala Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Eddy Purwanto; pengamat ekonomi yang juga putra Madura, Didik J Rachbini; Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH Achmad Fauzi Tijani; dan sosiolog Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Ekna Satriyati. Moderatornya adalah Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya Hotman M Siahaan. Diskusi dihadiri sekitar 100 orang dari pelbagai kalangan, seperti santri, akademisi, dan pengusaha.
Membakar
Fauzi mengatakan, penghormatan masyarakat Madura terhadap kiai bisa dilihat dari ungkapan, buppa’-bhabbu, ghuru’, rato dalam arti bapak-ibu, guru atau kiai, dan ratu atau pemerintah. Artinya, penghormatan utama diberikan kepada bapak-ibu, kiai, baru kemudian pemerintah.
Dalam kehidupan masyarakat Madura, khususnya di pedesaan, menurut lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, itu, kedudukan dan peranan kiai sangat besar. Pengaruhnya melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan yang lain, termasuk birokrasi pemerintah. Kiai menjadi tempat mengadu, konsultasi, serta mohon restu hampir semua urusan, mulai dari soal perkawinan, pengobatan penyakit, mencari rezeki, sampai mendirikan rumah.
”Pak Zaini dari Sumenep punya cara menggambarkan bagaimana kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap kiai. Katanya, kalau saja kiai itu bisa menjadi nabi, orang Madura tetap saja percaya. Kalau ada orang menyanggahnya, masyarakat langsung marah dan membakar orang itu,” kata Fauzi.
Ia menambahkan, apa yang dikatakan kiai akan langsung diikuti atau sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami patuhi). ”Kadang-kadang masyarakat tidak berhitung baik atau tidak,” kata Fauzi lagi.
Sekitar 70 persen masyarakat Madura itu, lanjutnya, pernah nyantri (menjadi santri). Walau pagi bersekolah di SD umum, sorenya ngaji kepada kiai. Jadi, betapa pengaruh kiai ada pada mayoritas masyarakat Madura.
Kiai sebenarnya cukup responsif terhadap gagasan pemerintah untuk melakukan industrialisasi Madura. Untuk itulah para kiai berhimpun dalam Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (Bassra). Lembaga ini mengawal dan menjaga agar industrialisasi tidak sampai meruntuhkan tatanan moral religiositas masyarakat Madura.
Pada 14-15 Desember 1993, Bassra mengadakan seminar di Pondok Pesantren Syaichona Cholil, Bangkalan. Seminar itu merupakan sikap kritis dan hati-hati para kiai. Berdasarkan pengalaman setelah diajak Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie melihat industrialisasi di Batam, ternyata hal itu membuat rakyat setempat hanya menjadi kuli di atas tanah sendiri, tumbuh subur tempat- tempat maksiat. Para kiai dengan tegas menolak Madura dibatamisasi.
Lantas, terjadilah pertentangan keras antara Habibie dan ulama Madura. ”Sampai Pak Habibie bilang, ’Kalau tidak ada industrialisasi, maka tidak ada Jembatan Surabaya-Madura’. Para kiai menjawab, ’Kalau begitu, yang monggo’,” cerita Fauzi.
Sampai sekarang, sikap kiai tetap istiqomah (konsisten) terhadap rumusan Bassra yang diperkuat dengan Deklarasi Sampang 3 April 2006. ”Walau ulama menempati posisi sentral dalam masyarakat, membangun Madura tidak cukup hanya mengandalkan peran ulama. Harus ada kerja sama ulama, pemerintah, dan masyarakat,” kata cucu pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, KH Achmad Zarkasyi, itu.
Diskotek
Didik sependapat dengan Fauzi. Menurut dia, kiai tak bisa dikesampingkan dalam industrialisasi Madura. ”Kiai itu power. Sekarang bagaimana harus memanfaatkan power itu sebagai collective action untuk pembangunan Madura. Tapi, kiai juga harus berubah. Tidak bisa lagi mempertahankan kultur simbolik karena itu menjadi kendala pembangunan masyarakat Madura,” katanya.
KH Syafik Rofii menyampaikan otokritik bahwa pandangan kiai juga harus bertitik tolak dari sisi rakyat. Artinya, industrialisasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki sosial ekonomi rakyat yang mayoritas masih di bawah garis kemiskinan.
Masalahnya sekarang, bagaimana rakyat memperoleh penghasilan. Sektor pertanian sulit bisa diharapkan untuk meningkatkan taraf hidup. Jadi, kiai tidak boleh hanya melihat dari dirinya sendiri.
”Industrialisasi belum dilakukan, tapi sudah diputus akan menyuburkan maksiat. Ini bagaimana? Di Madura memang tidak ada diskotek, tapi di Surabaya ada diskotek yang pengunjungnya khusus orang Madura,” papar mantan Sekretaris Bassra itu.
Gagal
Hotman mengingatkan tentang gagalnya industrialisasi di Bangkalan awal dekade 1980-an. Pada waktu itu, taipan Liem Sioe Liong alias Om Liem hendak membangun pabrik semen di Bangkalan. Untuk itulah dia mulai membangun Universitas Bangkalan yang diharapkan menjadi salah satu pusat penyiapan sumber daya manusia.
Namun, kemudian ada tuntutan yang luar biasa dari para kiai di luar konteks industrialisasi. ”Akhirnya Om Liem mundur. Dia juga tidak jadi membesarkan Universitas Bangkalan,” kata Hotman. (ANO/ABK)
Sumber: Kompas, Selasa, 6 April 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda