Moh. Mufti, Dosen yang Bercita-cita Teknokrat

Jika Dibutuhkan, Siap Pulang ke Kampung Halaman

Mendidik mahasiswa sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya memang tak jauh dari cita-citanya. Awalnya, pria kelahiran Sumenep 5 Oktober 1964 ini memiliki keinginan untuk menjadi salah seorang teknokrat.

PAGI itu kampus Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya masih sepi. Mahasiswa tengah menikmati masa liburan semester genap yang cukup panjang. Namun, ada beberapa mahasiswa semester akhir yang berlalu lalang di kampus yang berlokasi di Jl Semolowaru tersebut. Umumnya adalah mahasiswa yang bermaksud bimbingan untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Di kampus yang dikenal dengan sebutan Kampus Merah Putih tersebut, Fakultas Teknik termasuk fakultas bonafid. Selain itu, dikenal sebagai fakultas yang cukup sulit ditempuh. Paling singkat, mahasiswa teknik harus menghabiskan waktu 4 tahun untuk menyelesaikan masa kuliahnya. Sehingga tak sedikit mahasiswanya yang terpaksa memerpanjang masa kuliahnya.

Mohammad Mufti merupakan salah satu dosen di Fakultas Teknik Untag. Dia juga menjabat sebagai Pembantu Dekan III di tempatnya mendidik mahasiswa. Berbekal informasi dari salah seorang mahasiswa di fakultas tersebut, koran ini berhasil menemui alumnus SMAN 1 Sumenep ini di ruang kerjanya.

Usai memersilahkan duduk, Mufti segera membereskan beberapa berkas di atas mejanya. Menurut dia, berkas-berkas itu adalah materi persiapan untuk mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya. Sebab sebentar lagi mahasiswa segera memulai kuliahnya kembali. "Begini mas setiap hari. Menyiapkan materi kuliah, ditambah sedikit kesibukan menjadi pembantu dekan III," sambutnya.

Mengetahui maksud kedatangan koran ini, Mufti segera menjelaskan beberapa hal terkait kegiatannya dan sejarah hingga akhirnya dia menjadi dosen teknik di Untag Surabaya. "Sebenarnya sederhana saja kenapa saya memilih Untag untuk melanjutkan kuliah. Kaitannya dengan lapangan kerja setelah lulus kuliah. Saya cenderung punya cita-cita menjadi teknokrat," paparnya.

Bidang mesin, lanjutnya, memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Sebelum kuliah, dia memrediksi akan banyak perusahaan-perusahan yang bergerak di bidang industri membutuhkan tenaga teknik. "Yang jelas waktu itu saya ingin dapat kerja dengan cepat dan mudah," tandasnya.

Keinginan tersebut mendorongnya belajar dengan tekun demi mendapatkan nilai yang baik dan segera lulus untuk mendapat pekerjaan seperti yang dia inginkan. Namun, kenyataan berkata lain. Indeks prestasi di setiap semester tak pernah mengecewakan dirinya sendiri maupun dosen yang mendidiknya. Tak heran, begitu lulus strata sarjana, dia lalu mendapatkan tawaran untuk menjadi salah satu dosen di Untag. Tawaran tersebut menjadi pertimbangannya. Sehingga, Mufti pun akhirnya berubah pikiran dari keinginannya menjadi teknokrat ke sebuah profesi mengajar sebagai dosen.

"Saya akhirnya tidak menyia-nyiakan tawaran itu (menjadi dosen, Red). Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1990 saya bergabung menjadi salah satu dosen di Untag," kenangnya.

Sejak itu, dia selalu menanamkan pendidikan secara disiplin pada para mahasiswanya. Hal tersebut dilakukan supaya mahasiswa yang pernah dididiknya tidak mengecewakan setelah terjun ke dunia kerja.

Putra pasangan almarhum Moh. Erfan dan Nakia ini pun bisa merasakan kepuasan tersendiri atas jerih payahnya menjadi seorang dosen. Dia mengungkapkan, ada kepuasan tersendiri ketika berhasil membagi ilmu yang dia miliki dengan orang lain, yaitu mahasiswanya. Terlebih, jika mahasiswa yang pernah dididiknya menjadi orang penting di sebuah perusahaan.

"Beberapa anak didik saya banyak juga yang menjadi top manager di perusahaan-perusahaan besar di Surabaya maupun di belahan nusantara lainnya. Saya sangat bangga, dan inilah kepuasan batin para pendidik, yang saya rasa tidak dapat ditukar dengan apa pun," tegasnya.

Hanya, perkembangan zaman yang serba instant juga sangat berpengaruh pada semangat mahasiswa dari tahun ke tahun. Menurut Mufti, semangat belajar mahasiswa selalu mengalami pergeseran kearah yang kurang baik. Mereka yang terbiasa hidup dan dimanjakan teknologi instant menganggap belajar juga bisa dilakukan secara instant. Hasilnya, segala sesuatu menjadi kurang maksimal.

"Tapi ada juga mahasiswa idealis yang tidak terpengaruh itu. Artinya, ada sebagian yang punya kemauan kuat untuk benar-benar belajar. Sayang, tak bisa dipungkiri, sebagian besar memang sangat menurun semangat belajarnya," terangnya.

Faktor yang paling menentukan lainnya adalah pola pergaulan antar-mahasiswa yang relatif lepas dari kontrol orang tua. Terutama mahasiswa yang berasal dari luar kota. Kebanyakan mereka lupa tujuan utamanya ke Surabaya adalah kuliah, mencari ilmu untuk masa depannya. Surabaya yang cenderung lebih metropolitan membuat mahasiswa luar kota ingin "mencicipi" beberapa hiburan yang tidak mereka temui di daerah asalnya. Kegiatan mahasiswa kemudian lebih banyak dialokasikan pada hal-hal di luar jadwal kuliah.

"Padahal kalau di teknik, mahasiswa tidak hanya belajar saja. Tetapi juga harus mengikuti praktikum-praktikum yang bersinergi dengan mata kuliah yang dipelajarinya di ruangan," jelasnya.

Jadi, imbuhnya, sistem kredit semester (SKS) yang berlaku di kampus akhirnya berubah menjadi "sistem kebut semalam". Mahasiswa hanya akan belajar dengan tekun saat musim ujian tiba.

Karena itu, selain memberikan kuliah pada mahasiswanya, Mufti kerap kali mengingatkan mahasiswanya agar meningkatkan semangat belajarnya. Mengimbau mereka agar tidak terpengaruh oleh pergaulan baru yang bisa merusak semangat menuntut ilmu yang mereka bawa dari rumah dan menjadi harapan bagi keluarganya. "Yang perlu ditekankan pada mahasiswa sebenarnya tekad pribadi mereka. Tanpa itu, kontrol dari orangtua pun tidak akan berpengaruh besar," ingat calon bapak ini. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 15 September 2008

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda