Achmad Rifai, Pembawa Materi
Diklat Sertifikasi Guru

Pelobi Cikal Bakal Berdirinya 11 Universitas
di Jawa Timur dan Madura


Permukaan air danau yang tenang tidak akan melatih awak kapal menjadi terampil. Pepatah Cina ini barangkali menjadi cerminan warga Madura yang memberanikan diri berlayar di samudera, bukan di danau. Perjuangan luar biasa dan pengalaman keras pun akhirnya mengantar mereka pada keberhasilan. Mereka punya kemauan dan berani menghadapi tantangan.

Universitas PGRI Adi Buana terletak di kawasan Ngagel Dadi III-B, berdekatan dengan Taman Makam Pahlawan di Jalan Ngagel Jaya, Surabaya. Suasana kampus hari itu memang lebih ramai dari biasanya. Di gedung Pascasarjana terlihat beberapa mahasiwa yang sudah tidak muda lagi tengah menunggu pengesahan kelulusannya. Tampak pula beberapa mahasiswa baru Pascasarjana yang dibimbing oleh seorang petugas untuk keluar masuk ruangan yang harus mereka kenal.

Kampus ini mungkin kurang begitu dikenal oleh masyarakat Madura daripada Unesa, Unair atau ITS. Namun, di kampus ini ada seorang dosen senior dari Kopertis Regional VII yang berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim (Surabaya). Pria ini adalah warga asli Madura kelahiran Aeng Sareh, Sampang. Dia hijrah ke Surabaya sejak 1970 saat melanjutkan pendidikannya di IKIP Surabaya (sekarang Unesa), Fakultas Ilmu Pendidikan di Jalan Pecindilan.

"Kalau Anda tahu sejarah saya pasti terenyuh, sebab waktu ke Surabaya ini saya tidak punya apa-apa kecuali kemauan dan keberanian," ujar Drs H Achmad Rifai, MM., Kons. lantas tersenyum. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Rifai ini menghabiskan waktu belajarnya di Madura. Sekolah dasar dia tamatkan di SDN Camplong, daerah tempatnya dilahirkan. Kemudian melanjutkan di SGB, sekolah untuk mendidik calon guru anak-anak di sekolah dasar. Belum selesai di SGB Sampang, dia meneruskannya di SGB Bangkalan sekaligus menghabiskan masa belajarnya di SPG. Setelah SPG di Bangkalan baru dia hijrah ke Surabaya.

Rifai ditinggalkan ayahnya saat dia berusia 4 tahun, dua tahun kemudian ibunya juga meninggal dunia. Ini yang membuat Rifai harus membiayai semua pendidikannya dengan keringat sendiri. Supaya bisa tetap belajar, ayah 3 anak ini bergabung di organisasi-organisasi kesiswaan. "Saat itu ada GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Organisasi yang lumayan besar dengan anggota yang ada di seluruh Indonesia," kenangnya.

Aktivitas Rifai di organisasi tersebut cukup diperhitungkan. Dia menjadi bagian penting dari organisasi hingga sering didelegasikan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan di luar daerah. "Nah, kalau ada pertemuan di luar daerah kan biasanya dapat sangu. Setelah sampai di tujuan, pulangnya juga dikasih sangu. Sisanya itu yang saya pakai untuk hidup sehari-hari," katanya mengenang perjuangannya di masa sekolah dulu.

Usia putra pasangan almarhum RM Kertodihardjo dan RR Juhamiah ini masih muda saat dia direkrut MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Organisasi ini adalah cikal bakal berdirinya Partai Golkar setelah bergabung dengan beberapa organisasi kekaryaan lainnya. Bergabungnya Rifai di MKGR diawali ketika dia diminta menjadi ketua di departemen organisasinya. Hingga akhirnya, almarhum Bagus Sasmito, pemimpin MKGR, menyadari bahwa Rifai adalah seorang aktivis sejak duduk di bangku sekolah. Maka, dia pun diangkat sebagai sekretaris organisasi tersebut.

"Pak Bagus itu mantan Komandan Korem. Setelah diangkat menjadi sekretaris, saya ditantang membuat konsep untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Katanya karena saya ini mantan aktivis," ungkapnya.

Saat itu, lanjutnya, di Jawa Timur hanya ada beberapa universitas saja. Di antaranya adalah Unika di Kediri dan Unira di Pamekasan. Karena itu, Rifai mengusulkan untuk mendirikan beberapa universitas di Jawa Timur.

Dari puluhan yang diajukan, hanya 11 yang disetujui. Antara lain, Universitas Yos Sudarso, UnGres, Unigoro, Universitas Mayjend Sungkono, Unida, Universitas Sruji Bondowoso, Sunan Bonang, Unibang dan Wiraraja. "Zaman dulu kan tentara payu bicara di mana-mana. Mereka mengusulkan apa saja biasanya disetujui. Makanya saya berani bicara pada bupati-bupati untuk mendirikan universitas," papar dosen FKIP ini.

Di antara 11 universitas yang dia bantu cikal bakal berdirinya, Unibang (sekarang Unijoyo) yang paling dia kenang. "Kalau saya sebut Yayasan Ki Lemah Duwur, orang Unibang pasti akan ingat sejarah pendirian universitas di Bangkalan waktu itu," tegasnya.

Menurut dia, Yayasan Ki Lemah Duwur adalah anak organisasi dari induk yayasan yang dibentuk MKGR dengan nama Yayasan Wali Songo. Nah, dari yayasan tersebut Ki Lemah Duwur kemudian terbentuk. Dengan demikian, Yayasan Ki Lemah Duwur yang menjadi embrio Unijoyo saat ini adalah "cucu" organisasi MKGR. "Beberapa lama setelah Yayasan Ki Lemah Duwur terbentuk, Pak Noer (sesepuh warga Madura dan mantan Gubernur Jatim, Red) datang sebagai penyantun. Sekaligus memermudah kelangsungan hidup Unibang. Pak Noer kemudian menjadi bagian Ki Lemah Duwur," jelasnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber; Jawa Pos, Sabtu, 20 Desember 2008

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda