Kongres Bahasa Madura: Kurang Media
Bertahan karena Kontrol Sosial
Secara bergurau sebagian orang menyebut etnis Madura sebagai Tionghoa kecil. Maksudnya, sama-sama tersebar di mana-mana. Kalau orang Tionghoa ada di seluruh penjuru dunia, etnis Madura paling tidak ada di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bila orang
Cara-cara membantu Bahasa Madura agar bisa survive, inilah salah satu bahasan utama dalam Kongres Ke-1 Bahasa Madura di Pendapa Ranggasukawati, Pamekasan, Senin-Jumat (15-19/12).
Dibanding dengan bahasa-bahasa lain di Indonesia, bahkan di dunia, Bahasa Madura sebenarnya tergolong paling bertahan. Hampir semua keturunan Madura –bahkan mereka yang bukan kelahiran Pulau Madura sekalipun—bisa dan relatif biasa menggunakannya.
Menurut catatan CIA World Factbook 2008, penutur Bahasa Madura masih sekitar 8 juta jiwa. Menurut sebagian sumber yang hadir di Kongres I Bahasa Madura, penutur bahasa ini mencapai sekitar 13 juta jiwa. Sementara menurut Wikipedia, penutur Bahasa Madura berkisar 8-13 juta jiwa. Klop.
Kemampuan bertahan Bahasa Madura terutama disebabkan oleh kemauan penuturnya untuk terus menggunakan bahasa ibu mereka. Dalam keluarga-keluarga Madura yang melakukan pernikahan campuran antar-etnis pun, biasanya pengajaran Bahasa Madura terhadap anak mereka tetap dilakukan.
Selain itu, dalam forum-forum sosial, Bahasa Madura masih dipakai. Meski pun seringkali diselingi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (atau bahasa lokal lain di daerah tersebut), namun penggunaan Bahasa Madura dalam forum seperti tahlilan, rapat kampung, dan momen sosial lain masih dipakai.
Kegigihan penutur Bahasa Madura untuk menggunakan bahasa ini bisa dilihat hingga ke negeri tetangga. Para pekerja Indonesia Etnis Madura di Malaysia, misalnya, seringkali menyewa satu rumah tersendiri sebagai tempat untuk kumpul-kumpul di akhir pekan. Sekali pun mereka pandai bercakap-cakap dalam bahasa lokal, namun dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya mereka menggunakan Bahasa Madura.
Dengan spontan warga Madura biasanya akan menegur saudaranya yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Teguran ini bahkan sampai ke titik yang lebih ekstrem: dicaci sebagai 'orang sombong' atau 'kacang lupa pada kulitnya' bagi mereka yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Termasuk untuk mereka yang baru pulang dari bekerja di rantau.
'Ja' ala-pola, alakoh ka Jakarta du taon baih la loppah da' bhasanah' (Jangan berlagak, baru bekerja di Jakarta dua tahun saja sudah lupa pada bahasanya sendiri) kalimat peringatan seperti ini biasa terdengar untuk mereka yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Kontrol sosial seperti inilah yang membantu Bahasa Madura bertahan.
Wikipedia bahkan menyebut Singapura sebagai salah satu wilayah persebaran Bahasa Madura. Ini karena cukup besarnya komunitas Warga asal Bawean di negara pulau itu. Sebagaimana diketahui, Bahasa Madura bukan hanya dituturkan oleh penduduk Pulau Madura, namun juga penduduk Pulau Bawean (di barat Madura) dan penduduk kepulauan di timur dan timur laut Madura hingga sejauh Kepulauan Masalembu. Besarnya konsentrasi penduduk asal Bawean di Singapura inilah yang membuat Wikipedia menjadikan negara pulau itu sebagai salah satu wilayah persebaran Bahasa Madura.
Variasi Tingkatan
Meski tergolong bahasa yang bisa bertahan, namun Bahasa Madura tetap memiliki ancaman. Kendala utama bukan penurunan jumlah penutur, namun penurunan variasi tingkat dan ragam Bahasa Madura yang dikuasai.
Bahasa Madura memiliki tingkatan (ondhaggha bhasa) yang sama dengan Bahasa Jawa. Tingkatan ini mulai engghi bhunten, jenis tingkat tutur yang sama dengan krama inggil dalam Bahasa Jawa, engghi enten jenis tingkat tutur setara krama madya dalam Bahasa Jawa, dan tingkatan enja' iya setara ngoko dalam Bahasa Jawa. Di antara ketiga tingkatan itu, ada tingkatan antara yang oleh generasi muda kian rumit dipahami.
Untuk mengartikan kata 'rumah', misalnya dikenal kata roma (ngoko), compo' (karma madya), hingga dhalem (karma inggil). Untuk menyebut 'Anda', ada edah, sedah, ba'nah, ba'en (ngoko), dua yang pertama banyak dipakai di Bangkalan, dua yang terakhir lebih ke timur. 'Anda' dalam tingkatan yang lebih tinggi berturut-turut adalah sampeyan, panjenengan, dan sleranah. Bahkan ada satu sebutan yang selain tinggi, juga berkonotasi romantis: dikah.
Nah, tingkatan bahasa inilah yang menurut Achmad Sofyan, dosen Fakultas Sastra, Universitas Jember mulai kurang dipahami para penutur Bahasa Madura.
Menurut dia, pada umumnya generasi muda Madura usia 20 sampai 40-an tahun tidak menggunakan tingkatan tutur ini.
”Bila mereka yang berusia 40-an tahun saja sudah tidak bisa menggunakan tutur enggi bunten, bagaimana halnya dengan usia yang ada di bawahnya? Pasti sudah tidak bisa berbahasa Madura dengan baik dan benar. Dalam berbicara mereka sering ta' etemmo karoanna, lik-tabalik ban abhasa ka aba'na dibi' (tidak jelas jluntrung-nya, terbalik-balik, dan seperti berbahasa pada dirinya sendiri),” paparnya dalam Bahasa Madura. Apa penyebabnya?
Terbitan Berbahasa Madura
Prof Mien Achmad Rifai BSc MSc PhD dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan, kemunduran itu disebabkan kebijakan pemerintah dalam empat dasawarsa terakhir yang mengedepankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan.
Akibatnya, Bahasa Madura bernasib sama dengan bahasa daerah lainnya: tidak lagi banyak dikuasai oleh generasi muda.
Kendala kedua, sangat jarang – atau bahkan tak ada - buku atau karya tulis yang dikemas dalam Bahasa Madura. Bahkan penerbitan seperti Panjebar Semangat atau Jayabaya dalam edisi Bahasa Madura sangat jarang ditemui.
Hal ini dibenarkan Sofyan. Dia melihat pembinaan Bahasa Madura di daerah rata-rata sudah berhenti. Banyak media berbahasa Madura yang sempat terbit di daerah kini sudah tak terbit lagi.
”Yang cukup bagus hanya di Pamekasan. Di daerah ini menerbitkan buletin Pakem Maddu masih eksis hingga sekarang. Saya harap daerah lain meneladani Pemkab Pamekasan,” katanya.
Menurut Sofyan, kegiatan pembinaan Bahasa Madura mulai mendapat angin segar sejak didirikannya Balai Bahasa Surabaya tahun 2002. Sejak saat itu sudah dilakukan penyusunaan ejaan Bahasa Madura, sekalipun hingga sekarang belum dibakukan akibat adanya perbedaan antar daerah satu dengan lainnya.
Untuk variasi kata dan hal-hal lain terkait gramatikal, Bahasa Madura memang sangat kaya. Untuk 'singkong' saja, ada yang menyebut bohong, blandong, hingga tenggang.
”Menyedihkan bila mengingat Bahasa Madura yang merupakan bahasa daerah ketiga terbesar di Indonesia namun sampai sekarang belum punya ejaan dan tata bahasa yang baku,” katanya.
Untuk membantu Bahasa Madura eksis dalam seluruh ragam tingkatannya, Mien mengusulkan menjadikan Bahasa Madura sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dasar nasional.
“Beberapa penelitian di luar negeri menujukkan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar memberikan hasil yang lebih baik. Karena itu sebaiknya Bahasa Madura dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dasar,” usulnya.
Sementara kepada para keluarga Etnis Madura, Mien dan Sofyan berharap mereka terus mempertahankan – bahkan memperbaiki — penggunaan Bahasa Madura-nya, sekali pun di saat yang sama mengajarkan Bahasa Indonesia, Bahasa Ingris, atau bahasa lokal lain.
”Peluang perbaikan pengunaan Bahasa Madura ke depan masih sangat luas. Itu terjadi dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah. Pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Kebahasaan yang sedang dipersiapkan juga akan merupakan pendukung yang kuat untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan selama ini,” kata Mien.
Namun hal mendasar yang harus terus diperbaiki adalah tingkat melek huruf dan pendidikan warga Etnis Madura. Tanpa hal ini, sulit untuk melakukan upaya-upaya berbasis teks (bukan hanya lisan). Selanjutnya, Mien dan Sofyan merekomendasikan agar digalakkan publikasi buku-buku dan terbitan tentang dan dalam Bahasa Madura. ”Termasuk buku-buku pelajaran Bahasa Madura,” kata Sofyan. (Masdawi Dahlan/Achmad Supardi)
Sumber: Surabaya Post, Rabu, 17 Desember 2008
1 Komentar:
kunjungi web kami
www.allbangkalan.awardspace.com
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda