Usai Kongres, Lalu ...?

Kongres Bahasa Madura I, 15-19 Desember usai digelar. Tindak lanjut pun menanti.

KONGRES yang digelar di Pamekasan itu menghasilkan sejumlah rekomendasi. Intinya, sejumlah persoalan, bidang garapan, hingga kebijakan yang harus diambil terutama oleh pemerintah, ada di depan mata.

Salah satu poin permasalahan yang dirumuskan kongres adalah bahasa Madura harus dipertahankan, dibina dan dikembangkan. Rumusan rekomendasi ini tentu ada latar belakangnya, yakni karena selama ini ada kecenderungan orang Madura enggan menggunakan bahasanya sendiri. Bukan hanya karena karena kesulitan untuk menyesuaikan dengan tingkatan tutur (ondagga basa) namun realitasnya banyak orang Madura dan keturunannya yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa Madura dalam kesehariannya.

Itulah sebenarnya yang menjadi keprihatinan dari beberapa pengamat. Salah seorang di antaranya, Drs Achmad Sofyan, Dosen Fakultas Sastra, Universitas Jember. Menurut ia, di kalangan keluarga muda orang Madura perkotaan anak-anaknya sudah jarang dibiasakan menggunakan bahasa Madura, sejak lahir. Mereka banyak menggunakan bahasa Indonesia dengan alasan agar mudah menyesuaikan diri dengan sekolahnya ketika akan masuk TK atau SD yang sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

”Penggunaan bahasa Madura terbatas dalam ranah domestik, dalam keluarga dan bertetangga. Bahkan dalam rumah tangga domestik pun penggunaan bahsa Madura sudah terpengaruh penggunaan bahasa Indonesia. Dengan alasan untuk mempersiapkan kemampuan bahasa Indonesia putera-puterinya sewaktu masuk TK atau SD, keluarga terpelajar Madura tidak lagi menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa pertama yang diperkenalkan pada anak. Yang dijadikan bahasa pertama adalah bahasa Indonesia,” katanya.

Karena itu tidak mengherankan jika Prof. Achmad Mien Rifai mengusulkan, agar bahasa Madura dijadikan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dasar mulai TK sampai SD. Usul ini beralasan karena jika bahasa Madura dijadikan bahasa pengantar pendidikan terutama untuk pendidikan dasar, maka anak akan bisa menguasai secara lebih benar akan bahasa daerahnya. Dan ketika mulai masuk lembaga pendidikan SLTP dan SLTA, anak tinggal menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia.

”Merujuk pada hasil penelitian beberapa peniliti, penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dasar antara 3 sampai 6 tahun akan memberikan hasil yang lebih baik. Karena itu seyogyanya jika bahasa Madura dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam tahapan awal pendidikan dasar kita. Saat ini bahasa pengantar di lembaga pendidikan kita kan harus bahasa Indonesia,” katanya.

Persoalannya, maukah keluarga Madura berupaya menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa ibu atau bahasa yang pertama kali diperkenalkan pada anak-anak mereka? Tentunya tergantung kepada pilihan para orangtua mereka sendiri. Jika orangtua mau melakukannya, apalagi dengan berusaha dengan menggunakan atau biasa mengajarkan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan tingkatan penuturan, maka akan menghasilkan anak atau keluarga yang bisa menggunakan bahasa Madura dengan baik. Jika tidak, tentu saja sebaliknya.

Persoalan berikutnya, salah satu penyebab lunturnya minat bahasa Madura diduga karena karena pengaruh dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar. Jika dugaan itu benar, pertanyaannya, apakah bisa pemerintah daerah mengubah ketentuan itu untuk tidak lagi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar? Tentu jawabannya bisa. Di era otonomi daerah seperti sekarang ini mungkinkan pemerintah daerah membuat kreativitas atau semacam peraturan daerah (Perda) yang mengatur agar bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar di sekolah tingkat dasar. (MASDAWI DAHLAN)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 22 Desember 2008

Baca juga:
Pesantren Benteng Pelestari Bahasa Madura

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda