Berharap Generasi Madura Bangkit

PERKEMBANGAN Madura sangat bergantung pada warga Madura sendiri. Mereka tidak boleh kehilangan momentum gebyar pembangunan yang secepatnya akan segera berlangsung di pulau seribu pesantren tersebut. Berharap pada bantuan orang lain tidak akan banyak membantu jika upaya di dalam tidak signifikan mendukung. Bagaimana pun jangan membuat diri terjebak dalam ketergantungan bantuan.

Harapan yang masih bisa datang dari Madura sendiri adalah bangkitnya generasi muda. Mereka harus berani mencoba dan menatap kesulitan, sehingga mereka bisa belajar banyak hal dari rintangan dan halangan tersebut. Pada dasarnya banyak pihak yang akan membantu para generasi muda tersebut. Dengan catatan, mereka berani mencoba dan memulai.

Demikian disampaikan Titut Sayekti saat dimintai pendapat mengenai perkembangan Madura. "Saya ingin sekali mengingatkan generasi muda di Madura bahwa mereka harapan. Mereka harus bangkit, semua tergantung pada mereka. Saya pribadi siap membatu jika dibutuhkan," gagasnya.

Dia menerangkan, banyak program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengembangkan usaha-usaha kecil kerakyatan. Pemikiran cerdas dan kelincahan masyarakat muda di Madura adalah alat yang bisa menjadi motor penggerak perekonomian. "Mereka yang harus mencari kesempatan itu," tegas wanita pengusaha ini.

Tidak lama lagi, lanjutnya, Dirjen Dikti akan menurunkan beasiswa kepada para generasi muda, khususnya mahasiswa. Dari para mahasiswa diharapkan ada perluasan usaha hingga mereka yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Mereka harus memiliki konsep yang jelas. Segala pemikiran usaha yang dituangkan dalam sebuah proposal kemudian diserahkan pada pihak terkait.

"Kalau tidak bisa di kabupatennya ya ke provinsi. Pokoknya mereka harus berani coba. Anak muda kan punya semangat dan energi lebih tinggi, nantinya juga akan berguna bagi lingkungannya," papar Titut.

Menurut putri pasangan Suroso Prawiroatmojo dan Jumardiah ini, pemuda yang ingin mengembangkan daerahnya tak perlu berpikir yang muluk-muluk. Cukup melihat potensi daerah apa yang perlu digarap lebih lanjut. Jika di daerahnya berkembang peternakan, maka ajukan usulan mengenai sistem peternakan yang profesional. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan hasilnya. "Begitu juga dengan dengan potensi yang lain," tandasnya.

Sangat disayangkan, generasi Madura belum banyak berpikir untuk pengembangan potensi alam di sekitarnya. Padahal, Madura merupakan pulau kaya potensi alam yang belum digarap secara profesional dan memperlihatkan hasil signifikan bagi masyarakat.

Yang lebih penting lagi, generasi muda masih memiliki idealisme untuk membangun daerahnya. Sehingga, mereka bisa menyingkirkan pemikiran negatif orang luar mengenai Madura. "Saya pernah bertemu dengan pengusaha rumput laut dari Singapura. Dia meminta saya untuk mengumpulkan rumput laut di Jawa Timur kecuali Madura. Saya bertanya-tanya mengapa begitu. Orang Denmark juga begitu," ulas Wakil Ketua Kadin Jatim dan Iwapi Surabaya ini.

Pada kenyataannya, orang luar masih menganggap warga Madura belum bisa menjalankan bisnis secara fair dan profesional. Sebab, sekali orang luar kecewa ketika menjalin bisnis dengan seseorang, maka seterusnya mereka akan mem-black list-nya. "Ini harus diperbaiki. Karena saya lihat dari rumput laut saja Madura termasuk daerah yang potensial," imbaunya. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 31 Desember 2008

Titut Sayekti, Wakil Ketua Kadin Jatim dan
Iwapi Surabaya

Mencintai Madura dengan Menghormati Guru

Siapa pun yang mengenyam pendidikan akan mengenang dan selalu mengingat jasa para guru. Pendidik adalah orang tua kedua setelah ayah dan ibu di lingkungan keluarga. Tak sulit menghormati para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Sesekali mengajak berkumpul dan melihat hasil didikannya cukup membuat merasa terhormat di mata murid-muridnya yang selalu mengenang jasanya.

"PAK JUNAIDI, Pak Syarif, Pak Ramli, Pak Prapto, Ibu Juhairiah dan banyak guru lainnya sering kami undang di pertemuan-pertemuan reuni. Minimal setahun sekali. Mereka semua adalah guru-guru terbaik yang sudah mendidik kami di Madura dulu," ujar Titut Sayekti yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) Surabaya ini.

Koran ini akhirnya bisa menemui wanita yang sudah berstatus hajah ini di kediamannya, Jl. Gayung Sari Timur MGF-12, Surabaya. Dia termasuk perempuan Madura yang sibuk dalam kesehariannya. Surabaya bukan satu-satunya tempatnya menjalankan usaha dan kesibukannya. Jakarta dan kota-kota besar lain bahkan luar negeri sering dia kunjungi. Tentunya untuk kebutuhan bisnis dan jabatannya di Kadin Jatim maupun Iwapi Surabaya.

Di rumah yang cukup megah itu, Titut-panggilan akrabnya-hidup bersama dua putrinya. Ruang tamu di rumahnya sekaligus dijadikan ruang kerja dibantu dua putrinya dalam mengerjakan tugas-tugas kantornya. Ketiganya tampak sibuk tanpa menggunakan jasa pembantu satu pun. Titut mendidik anak-anaknya untuk bisa mandiri dan mengerjakan segala kebutuhannya sendiri.

Mendidik anak-anaknya supaya bisa mandiri dia peroleh dari orang tua dan guru-gurunya. Tak heran, wanita berjilbab ini begitu menghormati jasa para gurunya tersebut. Bahkan, ketika berbincang tentang Madura, guru selalu disandingkan dengan keberadaannya di Madura. "Kalau ingat Madura saya selalu terkenang pada guru SD dan SMP saya," ungkapnya.

Titut memang banyak menghabiskan masa kecilnya di Madura. Kediamannya di daerah Sumur Kembang, Kelurahan Pejagan, Bangkalan membawanya bersekolah di SDN Sumur Kembang 1 yang kini berganti nama SDN Pejagan 1 Bangkalan. SMP-nya pun dia lanjutkan di sekolah yang tak jauh dari rumahnya, SMPN 1 Bangkalan di Jalan Trunojoyo (Bangkalan). Kemudian dia melanjutkan ke SMAN 1 Bangkalan.

"Sampai kelas 1 SMA saya masih di Bangkalan. Kelas 2 sampai kuliah saya ada di Malang karena ayah dipindah tugaskan ke sana," ujar putri seorang pegawai PT Pos ini.

Meski harus pindah ke Malang, dia masih terus berkomunikasi dengan teman-temannya di Madura hingga kini. Setelah banyak temannya terpencar ke luar daerah, maka tercetuslah keinginan untuk mengadakan reuni. Tujuannya untuk bertemu teman lama saat di Madura dan bertemu para guru yang pernah mendidiknya dan teman-temannya.

"Kita biasanya setiap tahun mengadakan reuni dengan teman-teman di Madura yang juga mengundang guru-guru. Karena kami sudah seumur ini, kami lihat guru-guru kami dulu sudah banyak yang sepuh juga. Tapi, bagaimana pun mereka sangat berjasa," tuturnya.

Menurut dia, para guru di Madura sangat baik mendidiknya. Sehingga, begitu pindah ke Malang, perbedaan level pendidikan dan pergaulan tak pernah menjadi masalah baginya. Bahkan, dia mengaku karena didikan orang tua dan gurunya dia bisa sukses di bidang bisnis dan organisasi pengusaha seperti yang dia jalani sekarang. "Dari kecil saya memang suka bikin kumpulan. Dulu waktu masih SD teman-teman saya ajak arisan daripada jajan. Nah, nanti yang dapat bisa dipakai jalan-jalan," kenangnya.

Kebiasaannya di Madura di bawa ke tempat barunya, Malang. Titut tidak mau melepaskan masa mudanya dengan percuma. Di semester II kuliahnya, dia sudah mulai bergabung dengan pengusaha di Surabaya. Sebab, dia berkeinginan setelah lulus kuliah bisa mandiri dan menjalankan usaha sendiri. "Pernah ada yang minta saya untuk bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Tapi, sejak lama saya lebih suka berwirausaha," tegasnya.

Aktivitasnya di dunia usaha mendukungnya untuk menjadi bagian dari Kadin di semester V. Beranjak, dia kemudian menjadi fungsionaris Kadin termuda yang merangkap kerja di lokal surabaya dan Regional Jatim. Hingga saat ini sudah enam periode dia hidup di organisasi Kadin. "Terakhir, waktu diangkat jadi wakil, saya harus melepaskan jabatan di Kadin Surabaya," terangnya.

Mengenai bagaimana dia akhirnya bisa menjalankan usaha sendiri tanpa bekerja lagi pada orang lain, dia mengatakan, semuanya dihasilkan dari Kadin. "Saya kan pernah menjabat sekretaris di Kadin. Jadi tahu semua bagaimana membuat dokumen usaha dan jalan membesarkan usaha. Nah, di situ saya pelajari," ulasnya.

Usaha pertama yang dijalankan Titut bergerak di bidang suplier dan lembaga pelatihan. Idealisme membantu sesamanya tumbuh ketika Dinas Ketenagakerjaan memintanya melakukan pelatihan di beberapa tempat. "Waktu itu saya pilih pondok pesantren dan penjara. Sebab, saya yakin orang yang ada di tahanan harus diberi pengetahuan dan keterampilan agar tidak berbuat salah lagi," ujarnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 31 Desember 2008

Baca juga:
Berharap Generasi Muda Madura Bangkit

Label: , ,

Siap Kembangkan Modal Sosial Madura

RESESI ekonomi global yang menyerang sejak pertengahan tahun 2007 lalu menjadi tugas berat pemerintah. Pasalnya, krisis tersebut bukan hanya menyerang perekonomian negara maju. Negara berkembang pun terkena imbas keserakahan orang-orang bermental kepitalisme.

Alur perekonomian nasional harus diserahkan pada mereka yang benar-benar kompeten di bidang tersebut. Jika tidak, gelombang kerugian akan terus mendera kondisi perekonomian masyarakat. Secara keilmuan, krisis ekonomi global akan menghantam sektor riil Tanah Air. Bakal banyak korban, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi. Jalan keluar satu-satunya adalah memberdayakan masyarakat di tingkat bawah. Caranya meningkatkan entreprenuership seluruh masyarakat.

Nah, Zainal Abidin yang 23 Desember 2008 lalu dilantik sebagai kepala Disperindag Jatim, melihat bahwa entreprenuership merupakan modal sosial bagi masyarakat Madura. Pasalnya, tidak banyak masyarakat di Indonesia ini memiliki kemampuan tersebut.

"Terus terang saya sama sekali tidak khawatir pada perkembangan Madura. Saya percaya sekali logika orang Madura itu jalan sekali. Saya benar-benar optimistis sejak lama bahwa orang Madura itu pinter-pinter dan survival (mampu bertahan)," ungkapnya.

Jadi, lanjutnya, kondisi warga Madura dengan latar belakang pendidikan tidak perlu didramatisasi sebagai masalah yang akan timbul di Madura.

Jika latar pendidikan mereka ada di level bawah atau tengah, maka masuklah pada ruang kerja yang sesuai. Dengan sendirinya mereka dan yang lain akan mengejar ketertinggalan. "Orang Madura seperti itu, gigih," tandasnya.

Dia mengimbau pada saudara setanah kelahiran supaya jangan menyerah dan malas berebut kesempatan di tanahnya sendiri. Prinsipnya, jika di luar pulau orang Madua banyak berhasil, maka mustahil mereka berpangku tangan di daerahnya sendiri. Sebab, kemudahan akses di Madura nantinya harus menjadi dorongan psikologis bagi warga Madura untuk lebih produktif.

Pasalnya, setiap manusia Madura yang direpresentasikan oleh kepala daerahnya selalu menuntut agar pembangunan di Madura harus dibantu pihak provinsi. Sementara, perkembangan daerah tidak serta merta bisa dilakukan tanpa konsep yang rapi, terstruktur dan komprehensif. "Saya pahami itu sebagai semangat atas perubahan. Bahkan cibiran sekali pun saya hadapi sebagai bukti adanya semangat perkembangan itu," tuturnya.

Cibiran seperti apa? Dijelaskan, ketika dengung pembangunan Madura pasca-Suramadu makin gencar, setiap daerah meminta agar pemprov banyak terlibat. Bukan hanya berkutat di tataran konsep dan pembicaraan belaka. Menghadapi tuntutan semacam itu, Zainal selalu meyakinkan bahwa pihaknya tengah berupaya melakukan hal terbaik bagi Madura. Di antaranya dengan menginventarisasi program dan pembiayaan bagi pembangunan Madura dan daerah lain di Jatim. "Jawa Timur kan tidak boleh Madura saja, semua perlu dipikirkan," tegasnya.

Apa yang akan dilakukan di disperindag nanti? "Seperti saya katakan tadi, untuk Madura saya sudah punya bekal sosial masyarakatnya," tegas pria berkacamata ini.

Usaha-usaha informal akan menjadi fokus dan perhatiannya untuk menjawab tantangan kerja di era resesi. Sebab, baginya banyak tugas dan tanggung jawab besar untuk melanjutkan Jatim di masa krisis ekonomi.

Secepatnnya dia akan 'bersafari' untuk menginventarisasi industri dan infrastruktur apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan Jatim, terutama di Madura. Meski konsep sudah dibuat, Zainal akan tetap melakukan tukar pikiran dengan aparatur pemerintah daerah yang ada di Madura. "Saya ingin kembali meyakinkan bahwa orang Madura itu sangat dinamis dan tahu apa yang harus dilakukan untuk daerahnya. Asal tidak berebut, pembangunan di Madura tidak akan tumpang tindih dan pasti efisien," pungkasnya bersemangat. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Zainal Abidin, Kepala Dinas Disperindag Jawa Timur

Sekian Lama, Perjalanan Sumenep-Surabaya Masih 6 Jam

Masalah akses jalan, transportasi dan jarak tempuh menuju Pulau Garam masih sering menjadi bahan pembicaraan dan keluhan. Tak heran, setelah ditolak karena kekhawatiran para ulama, kini Jembatan Suramadu justru melahirkan semangat baru. Minimal semangat itu ditunjukkan oleh pemerintah di empat kabupaten di Madura yang sudah berlomba-lomba membangun segalanya.

LINGKUNGAN badan dan instansi di Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak lama sudah banyak diisi oleh warga asal Madura. Mereka juga dikenal ulet dan konsekwen di bidang pekerjaan yang menuntut tenaga dan pikiran untuk memajukan provinsi yang di dalamnya termasuk tanah kelahirannya. Tak heran, di antara mereka selalu fokus pada perkembangan Madura. Ini bukti bahwa di mana pun warga Madura berada, tenaga dan pikirannya masih tercurah untuk Pulau Garam.

Zainal Abidin adalah salah satunya. Pertama koran ini menemuinya di kantor Bappeda Provinsi Jatim. Saat itu dia masih menjabat sebagai wakil ketua di instansi tersebut. Ketika itu dia masih sangat sibuk dengan aktivitasnya sebagai wakil ketua. Sehingga perlu membuat janji ulang untuk mewawancarainya.

Pria kelahiran Sumenep, 22 Agustus 1954 ini bertempat tinggal di Jalan Asem I/12, kawasan Asem Rowo, Surabaya. Dia akhirnya bersedia diwawancarai di hari libur setelah sekian lama menundanya.

Di kompleks perumahan tersebut, rumah Zainal-sapaannya-terlihat tak begitu menyolok dibanding kediaman warga lainnya. Yang sedikit berbeda ketika masuk di ruang tamunya. Interaksi menggunakan bahasa Madura ada di rumah itu. Terdengar, di dalam rumah Zainal meminta agar seseorang menyediakan minuman dan suguhan untuk koran ini dengan bahasa Madura. Tak diragukan lagi, dia adalah warga Madura.

Berpakaian rapi hitam-hitam, dia menyapa koran ini dengan ramah. Bapak 3 anak ini memang dikenal ramah, baik di lingkungan kerjanya maupun bagi warga sekitar rumahnya. Dijelaskan, dia datang ke Surabaya sejak tahun 1975, ketika melanjutkan studi teknik kimia di ITS.

"Jadi sejak kecil hingga SMA saya di Sumenep. Rumah saya kebetulan di tengah Kota Sumenep, Jalan Seludang," ujarnya.

Kini, lanjutnya, di rumah induknya tersebut masih tinggal orangtua perempuannya, Hj Zahra. Ayahnya, HM. Saleh sudah mangkat beberapa tahun lalu. Karena itulah dia masih sering mengunjungi tanah kelahirannya tersebut minimal 3 bulan sekali.

Diungkapkan, setiap kali harus pulang ke Madura, yang pertama ada dipikirannya adalah waktu perjalanan menuju Sumenep. Jika tidak antre di pelabuhan untuk menyeberang, dia menghabiskan waktu selama 6 jam di perjalanan. Saat pelabuhan ramai, tentu membutuhkan waktu lebih lama. "Istri saya orang Makassar. Nah, ke sana saya hanya butuh waktu cukup 1 jam saja. Ini yang tidak pernah berubah dari Madura," sesalnya.

Menurut dia, perjalanan dengan waktu lama dan didukung kondisi jalan yang sempit hingga saat ini merupakan faktor belum berkembangnya Madura. Dia tahu sendiri betapa orang lain selalu memikirkan lama dan jauhnya Madura setiap mereka harus datang ke sana. "Begini, kalau sudah dengar Madura, orang akan berpikir lama dan jauhnya menyeberang selat. Ini kan tidak bagus," tegasnya.

Tapi, lanjutnya, dia bisa sedikit tenang karena Jembatan Suramadu sebentar lagi akan rampung dibangun. "Sekarang tinggal bagaimana meningkatkan fungsi dan optimalisasi jalan-jalan akses di Madura. Saya berharap, misalnya ke Sumenep tidak makan waktu 6 jam lagi," tuturnya.

Ditanya mengenai perubahan di kampung halamannya, dia mengatakan memang ada beberapa hal cukup berubah. Yaitu, rasa kekeluargaan warga Madura yang kian menipis karena perkembangan zaman. "Mungkin karena sekarang era komunikasi pakai telepon genggam, dengan mendengar suara saja sudah cukup. Tapi, kan bertemu secara langsung tetap lebih baik," ulasnya.

Bagi suami Hj Ernawati ini, silaturahmi adalah roh warga Madura. Karena itu dia mengimbau supaya roh kemaduraan tersebut jangan sampai hilang ditelan kemajuan. "Supaya tidak hilang komunikasi, saya dan teman-teman SMA membuat semacam ikatan. Minimal setahun sekali saya mengajak pertemuan dengan mereka. Bahkan, di setiap hajatan pun kita masih saling undang," ujar pria yang tanggal 5 Januari ini akan menempati kantor baru sebagai Kepala Dinas Disperindag Jawa Timur. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Baca juga:
Siap Kembangkan Modal Sosial Madura

Label: , ,

Twin Towers di Kaki Jembatan

Pemerintah sudah menyiapkan rencana besar baru setelah Suramadu beroperasi nanti. Yakni, pengembangan kawasan yang berada di sekitar jembatan itu.

Untuk keperluan tersebut, pemerintah lewat Perpres 27/2008 telah membentuk badan khusus bernama Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS). Badan itulah yang akan menjadi operator proyek tersebut.

Hanya, hingga hari ini belum jelas kelanjutan dari proyek tersebut. Pemerintah masih belum menetapkan seperti apa detail rancangannya. Termasuk, siapa saja yang bakal duduk di badan khusus itu. Meski demikian, Pemprov Jatim sudah menyiapkan skema awal rencana besar tersebut.

Untuk keperluan itu, pemprov sudah menyiapkan lahan 600 hektare. Dengan rincian masing-masing 300 hektare di dua sisi (Surabaya-Madura). Sisi Surabaya berada di kawasan Tambak Wedi.

Konsep dasarnya, sisi Surabaya akan diarahkan untuk daerah wisata dan area perkantoran. Beragam fasilitas dirancang bakal dibangun di sisi itu. Untuk pariwisata misalnya, kaki Suramadu sisi Surabaya dirancang menjadi kawasan yang dikonsep sebagai areal fairground. Bangunannya meliputi ruang pameran, shopping mall, taman bermain anak, concert hall, dan convention hall.

Selain itu, pemprov menyiapkan sebuah area untuk pembangunan museum Jembatan Suramadu sebagai pusat studi dan wisata. Luas area itu direncanakan satu hektare. Museum tersebut berisi segala pernak-pernik Suramadu. Misalnya, potongan box girder, cable stayed, maupun bagian jembatan lain.

Konsep lebih detail sudah dibikin pemprov untuk pengembangan kawasan Suramadu sisi Madura. Malah, konsep itu beberapa kali dipaparkan kepada publik. Termasuk, mereka juga sudah menawarkan kepada para tokoh penting di Madura.

Seperti apa? Untuk pola pengembangan kawasan, disiapkan dua rencana besar. Yakni, pengembangan kawasan hunian serta kawasan niaga (komersial).

Untuk kawasan niaga, di pintu masuk jembatan sisi Madura akan dibangun twin tower. Menara itu dibangun di sisi kanan dan kiri pintu Jembatan Suramadu.

Rencananya, bangunan tersebut dibangun di atas lahan 6,2 hektare dengan luas bangunan 280.000 meter persegi. Tingginya 35 lantai dan diestimasi bisa menampung 400 unit kantor. ''Ini sebagai ikon kawasan Suramadu di Madura,'' kata Kepala Badan Perencanaan Provinsi (Bappeprov) Hadi Prasetyo.

Bukan hanya itu, di sisi tersebut juga siapkan fasilitas hotel. Pembangunan hotel di sana dikonsep dalam dua tipe. Yakni, hotel standar (berada di dekat pantai) dan cottage.

Untuk kawasan hunian, setidaknya ada lima fasilitas yang disiapkan. Yakni, permukiman bagi nelayan, relokasi rumah susun, penataan ulang kawasan permukiman, pembangunan apartemen, dan town house. Selain itu, pemprov merencanakan pengembangan.

Hanya, pemprov masih belum berani berbicara banyak soal itu. Sebab, hingga kini mereka juga masih menunggu kepastian dari pemerintah pusat. Terutama soal pembentukan BPWS itu.

Pada bagian lain, pemprov dijadwalkan bakal melakukan penelitian terkait beragam aspek seputar pengembangan kawasan Suramadu. Nanti hasil studi itu dijadikan salah satu bahan rekomendasi untuk rencana besar tersebut. "Tentu harus ada studi lebih detail. Nanti tim dari pemprov dan pakar yang akan turun. Hasilnya akan menjadi salah satu bahan pertimbangan," kata Kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional, V.A.G. Ismail kemarin.

Rencananya, penelitian itu bakal dilakukan para pakar yang ada di Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Jatim. dijadwalkan, penelitian ini dilakukan pada Januari-Mei 2009. (ris/nw)

Usia Suramadu Bisa Seratus Tahun Lebih

Meski mengejar target operasi April 2009, pemerintah, tampaknya, tidak mau kualitas Jembatan Suramadu bermasalah. Yang terbaru, kini disiapkan sebuah sistem yang diberi nama structural health monitoring system (SHMS).

Lewat sistem itu, ditargetkan umur kelaikan Jembatan Suramadu bisa diperpanjang. Selain itu, pendeteksian kondisi seluruh bagian jembatan bisa diketahui lebih dini.

"Sistem ini sudah disiapkan. Kami harap sistem baru ini bisa diterapkan sebelum jembatan dioperasikan," kata Kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional, V A.G. Ismail dalam seminar Prospek Pembangunan Jembatan Nasional Suramadu di Hotel Garden Palace kemarin (29/12).

Dia menjelaskan, sistem tersebut merupakan sebuah teknologi untuk memperpanjang umur pelayanan jembatan dengan cara penurunan kemampuan (degradasi) dan kerusakan bisa dideteksi lebih awal. Dengan begitu, bisa dilakukan tindakan lanjutan.

Lalu, seperti apa teknis kerja sistem anyar itu? Dia menjelaskan, aktivitas teknologi SHMS adalah untuk menyediakan semua informasi yang terkait dengan pengoperasian dan pemantauan. Setelah itu, informasi tersebut diolah operator. Hasilnya, dari informasi itu nanti bisa diketahui seperti apa kelayakan kondisi jembatan pada saat itu.

Dari situ, operator melakukan identifikasi. Setelah diketahui, langsung bisa dilakukan tindakan perbaikan, baik secara manual maupun otomatis. Lewat cara itu, umur Jembatan Suramadu yang diprediksi mencapai 100 tahun bisa ditambah lebih panjang.

Selain menjamin kelaikan kondisi jembatan, teknologi tersebut diklaim memiliki beberapa fungsi lain. Di antaranya, bisa mencatat beragam kejadian khusus. Mulai potensi gempa, angin besar, hingga mengetahui tingkat kelayakan kendaraan yang melintas di sana.

Saat ini pemprov juga sudah berencana melakukan penelitian terkait beragam aspek seputar pengembangan kawasan Suramadu. Rencananya, penelitian itu meliputi berbagai aspek pasca pembangunan. Mulai aspek pengelolaan, transportasi penyeberangan, pengembangan investasi, hingga beragam aspek lain.

Hasil studi tersebut menjadi salah satu bahan rekomendasi kepada pemerintah pusat yang bakal menjadi supervisor dalam proyek pengembangan nanti. (ris/nw)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Tertantang Saingi Ketenaran Golden Gate

Suramadu, Ikon Kemajuan Konstruksi Jembatan Indonesia

Bukan hanya masyarakat Jawa Timur yang bangga jika Jembatan Suramadu beroperasi sesuai jadwal. Dengan panjang 5.438 meter, Suramadu akan menjadi kebanggaan Indonesia karena masuk daftar jembatan terpanjang di dunia.

Beroperasinya jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura itu akan mengantarkan Indonesia dalam kelompok negara yang memiliki jembatan monumental dengan panjang lebih dari 5 kilometer.

Mengutip daftar di Wikipedia, tidak sampai 50 negara di dunia yang memiliki jembatan di atas perairan dengan bentangan lebih dari 5 km. Bahkan, dalam daftar sepuluh teratas, hanya dua negara yang dominan, yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat. Tiongkok memiliki enam di antara sepuluh jembatan terpanjang di dunia. Sedangkan Amerika Serikat memiliki tiga jembatan terpanjang.

Di puncak daftar, ada Jembatan Teluk Hangzhou Tiongkok yang panjangnya hampir 40 km. Jembatan yang beroperasi 5 Juni 2008 itu menghubungkan Jiaxing, yang berada di dekat Shanghai, dengan kota industri Ningbo di Provinsi Zhejiang. Jembatan itu bisa memotong jarak antara kedua tempat tersebut yang jika lewat jalan darat harus memutar 120 kilometer.

Lake Pontchartrain Causeway yang melintasi Danau Pontchartrain di bagian barat Lousiana, AS, menduduki peringkat kedua dengan panjang total 38,42 km. Jembatan dengan desain model terbelah di tengah itu memungkinkan kapal lewat dengan cara mengangkat kedua bagian tengah jembatan ke atas. Jembatan tersebut menjadi penopang delapan jalur kendaraan di atasnya.

Tiongkok kembali mendapat tempat dengan adanya Yangcun Bridge. Sebagai jembatan kereta api, Yangcun Bridge menghubungkan Beijing dengan Tianjin. Membentang 35, 8 km. Sistem railway modern itu mampu menghemat waktu perjalanan dari Beijing ke Tianjin yang berjarak 120 km dari semula 70 menit menjadi 30 menit saja.

Jembatan Suramadu yang akan menjadi jembatan terpanjang di Indonesia memang kalah jauh jika dibandingkan dengan jembatan-jembatan raksasa itu. Namun, Indonesia tetap patut bangga karena kini bisa menyaingi jembatan legendaris dunia seperti Golden Gate di San Francisco, AS, dan London Bridge di Inggris.

Panjang Golden Gate yang berkali-kali 'dihancurkan' dalam film tentang akhir zaman Hollywood itu hanya 2.737 meter atau hampir separo panjang Suramadu. Sedangkan London Bridge yang melintang di Sungai Thames bahkan lebih imut lagi jika dibandingkan dengan Suramadu. Panjang London Bridge hanya 262 meter atau hanya 5 persen dari panjang Suramadu.

Keunggulan fisik bangunan ini menjadi tantangan, apakah Suramadu akan mampu setenar Golden Gate dan London Bridge. Para insinyur sudah menyelesaikan tugasnya, kini saatnya pemerintah mengelola fungsinya sehingga menghasilkan citra sementereng Golden Gate dan London Bridge. (dia/kim)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Akses 'Suramadu' Terganjal Lima Rumah

Selain mengamati perkembangan pembangunan Jembatan Suramadu, Jawa Pos mengamati perkembangan pembangunan akses menuju jembatan itu. Baik di sisi Madura maupun Surabaya. Hasilnya bisa dibilang kontras. Di Surabaya, progress report-nya sudah lumayan. Berbeda dari sisi Madura.

Dari atas heli, akses Suramadu di sisi Surabaya sepanjang 4,35 km itu boleh dikatakan nyaris tuntas. Mulai titik awal di pertigaan Jl Kedungcowek-Jl Kenjeran sampai di bibir jembatan, bentangan aspal sudah terhampar.

Fasilitas pendukung berupa lampu maupun markah juga sudah terpasang. Pekerjaan yang tersisa untuk akses adalah penyelesaian penanaman pohon serta menuntaskan pembuatan markah jalan. Hingga pertengahan Desember, progress pembangunan jalan sisi Surabaya mencapai 96,8 persen.

Meski nyaris tuntas, tidak berarti akses di sisi Surabaya sudah selesai. Dari atas heli, terlihat masih ada lima titik yang masih menyisakan masalah. Bahkan, masih berdiri rumah di sana. Alhasil, jalan pun harus terpotong karena lahan-lahan tersebut.

Kelima lahan itu milik warga yang sampai hari ini enggan melepas lahannya karena bersikeras menolak tawaran harga dari pemerintah dan tim appraisal. Total luas lahan yang belum bebas itu mencapai 604 meter persegi.

Lahan-lahan tersebut milik Munip (seluas 100 meter persegi di Jl Kedung Cowek 139 B), Rofi'i (100 meter persegi di Jl Kedung Cowek 147 A), Mustofa (165 meter persegi Jl Kedung Cowek 150), Hendra (116 meter persegi Jl Kedung Cowek 180), serta Yunus (123 meter persegi Jl Kedung Cowek 244).

Tentu itu agak aneh. Sebab, sebelumnya tim P2T (panitia pembebasan tanah) yang dikoordinasi Pemkot Surabaya berancang-ancang membebaskan sisa lahan tersebut lewat cara konsinyasi (pembayaran dititipkan di pengadilan negeri). Bahkan, mereka menargetkan semua sudah tuntas sebelum 20 Desember 2008.

Faktanya, ternyata semua lahan itu belum berhasil dibebaskan. Asisten I Sekkota B.F. Sutadi yang dikonfirmasi terkait dengan masalah itu menyatakan pihaknya memang menunda sementara konsinyasi. ''Sebab, masih ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Selain itu, kami masih membuka kesempatan nego dengan warga, sehingga semua diselesaikan secara kekeluargaan,'' jelasnya.

Meski demikian, dia optimistis masalah lahan tersebut selambatnya sudah bisa diselesaikan pertengahan Januari nanti. ''Prinsipnya, konsinyasi tinggal jalan saja kok,'' katanya.

Yang jelas, nyantolnya pembebasan lahan tersebut memaksa pelaksana proyek menghentikan pembangunan akses di sana. Alhasil, progress pembangunan akses di sisi itu terhenti di angka 96,8 persen.

Jika akses di sisi Surabaya sudah lumayan (meski masih ada ganjalan), tidak demikian halnya dengan penyelesaian akses di sisi Madura. Berdasar data progress report terakhir, dari total rencana akses sepanjang 11,5 km, pekerjaan yang tuntas baru mencapai 78,62 persen.

Dari pantauan udara, akses yang sudah tuntas sebagian besar berada di radius empat kilometer dari bibir jembatan. Sedangkan akses di sekitar jembatan masih belum sempurna.

Belum lagi, ternyata di sekitar jalur akses masih banyak lahan yang lagi-lagi terganjal bangunan milik warga. Sama, itu adalah lahan milik warga yang belum bebas.

Berdasar data yang diperoleh, setidaknya masih ada 13 bidang tanah seluas 3.200 meter persegi yang harus dibebaskan. Total, proyek akses tersebut membutuhkan lahan seluas 670.949 meter persegi. Kasusnya sama, warga meminta harga lebih tinggi daripada ketetapan pemerintah dan tim appraisal.

Tentu saja hal tersebut membuat pelaksana proyek kelimpungan. Sebab, mereka sejak lama berharap semua lahan sisa itu sudah bisa diselesaikan sebelum bulan ini berakhir.

"Sebab, estimasi kami, Januari sampai Maret kami target akses bisa selesai. Kalau belum bebas, tentu kami tidak berani melakukan pekerjaan," tegas Kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional V A.G Ismail. (ris/eko/nw)

Ssumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Empat Bulan Lagi Beroperasi

Pembangunan Jembatan Suramadu Tinggal 38 Meter


Foto: YUYUNG ABDI/JAWA POS - HAMPIR TERSAMBUNG Bagian paling tengah Jembatan Suramadu. Kurang 38 meter lagi, Pulau Jawa dengan Madura bakal gandeng

Selama ini, perkembangan pembangunan Jembatan Suramadu hanya bisa diikuti dari jauh. Pengambilan foto-foto juga dilakukan dari jarak jauh. Karena itu, masyarakat tidak tahu sampai di mana perkembangan pembangunan jembatan yang akan menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura itu.

Minggu siang (28/12), helikopter Jawa Pos memantau langsung dari dekat. Heli tersebut membawa fotografer dan wartawan Jawa Pos serta Management Information System Engineer Satker Pembangunan Suramadu Ashari.

Meski terkendala adanya awan tipis di sekitar lokasi proyek, detail-detail perkembangan pembangunan jembatan terpanjang ke-15 di dunia itu bisa terekam.

Heli beberapa kali mengelilingi semua sisi proyek. Mulai sisi utara, selatan, sisi Surabaya, maupun sisi Madura. Dan tentu saja dari atas. Saat itu, ratusan pekerja tampak sibuk menyelesaikan pembangunan yang diperkirakan tinggal tersisa 10 persen tersebut.

Jembatan Suramadu terdiri atas tiga bagian. Yakni, main bridge (bentang tengah), causeway (jalur pendekat antara jembatan dan daratan), serta approach bridge (jembatan penghubung antara main bridge dan cause way).

Bentang tengah sepanjang 818 meter. Causeway terdiri atas dua sisi. Yakni, sisi Surabaya (1.458 meter) dan sisi Madura (1.818 m). Sedangkan approach bridge masing-masing sisi sepanjang 672 meter. Karena panjangnya jembatan, jumlah pilarnya mencapai 102 buah.

Dari hasil pengamatan udara, bagian yang pembangunannya nyaris tuntas adalah causeway. Di dua sisi (baik Surabaya maupun Madura), hampir semua tahap pekerjaan sudah selesai. Aspal sudah terlihat mulus. Markah maupun utilitas jalan (lampu penerangan) juga sudah terpasang.

Kalaupun ada yang belum selesai, itu hanya sebagian. Untuk causeway sisi Surabaya misalnya, yang saat ini masih dalam tahap pekerjaan, antara lain, penyelesaian oprit (pertemuan antara jalan akses dengan jembatan). Selain itu, pada bagian tersebut, pelaksana proyek masih harus merampungkan sebagian lantai yang belum terpasang pada akses untuk sepeda motor, terutama di sisi selatan.

Untuk diketahui, jembatan yang pembangunannya menelan biaya Rp 4,5 triliun tersebut nanti menyediakan akses khusus sepeda motor. Letaknya di sisi kanan dan kiri jembatan. Lebar masing-masing 2,75 meter.

Total lebar jembatan mencapai 30 meter (2 x 15 meter). Di tiap jalur (arah Surabaya maupun arah Madura) akan ada jalur lambat masing-masing berukuran 2,2 meter. Kemudian, di tiap jalur akan ada dua jalur cepat yang masing-masing selebar 3,5 meter.

Sementara itu, pekerjaan yang tersisa pada causeway sisi Madura, antara lain, berupa penyelesaian overpass dan jalan akses. "Secara teknis, pembangunan causeway sudah pada angka 99,8 persen," kata Ashari yang selama di udara terus memberikan penjelasan tentang detail jembatan.

Di bagian main bridge, saat ini sedang dipasang alas jembatan berupa steel box girder (SBG) di atas dua pilar (yakni pilar ke-46 dan ke-47) yang menjadi penumpu bagian tersebut. SBG itu merupakan segmen lantai pada main bridge. Masing-masing sepanjang 12 meter dengan berat 160 ton tiap segmennya. Total keseluruhan 818 meter.

SBG merupakan 'lantai' jembatan yang berbahan dasar baja. Pembuatan dilakukan di Tiongkok. Di antara total 18 segmen, yang sudah terpasang di dua pilar adalah 14 buah. Sisanya tinggal empat segmen atau sekitar 38 meter. Pengerjaan yang tergolong sulit tinggal di SBG ini. Sisanya, meski ada beberapa yang juga belum tuntas, seperti pada causeway, namun hal itu tidak terlalu menyulitkan. Sebab, semua sudah tersedia dan tinggal pasang.

Segmen SBG yang masih dalam tahap pengerjaan saat ini adalah segmen 14-17 plus satu segmen closure (sambungan akhir/ penutup). "Kami targetkan akhir Januari 2009 sudah bisa nyambung," ujar Arief Mustofa, chief inspector main bridge Satker Proyek Suramadu, yang dikonfirmasi terpisah.

Bila seluruh SBG tersebut terpasang, bisa dikatakan salah satu pekerjaan terberat sudah selesai. Bagaimana tidak. Selain pembuatannya harus dilakukan di Tiongkok, pengirimannya memakan waktu cukup lama. Pengiriman dari Tiongkok dilakukan empat kali selama 30 hari. Itu pun masih harus dirakit lagi di Gresik.

Selain itu, pekerjaan lain di bentang tengah berupa pemasangan kabel yang menyangga SBG di kedua pilar. Masing-masing, yang mengarah ke sisi Surabaya sudah terpasang 2 x 14 kabel (dari total 36 kabel), arah Madura juga 2 x 14 kabel (dari total 36 kabel).

Secara teknis, kabel itulah yang akan menjadi penyangga utama lantai SBG di bagian main bridge. Pemasangannya juga tidak gampang. Sebab, setelah dipasang, pelaksana proyek harus dua kali menarik kabel. Itu dilakukan untuk memastikan bahwa kabel tersebut benar-benar kuat menyangga SBG.

Sementara itu, bagian yang pembangunannya paling lambat adalah bagian approach bridge. Di sisi Madura, misalnya. Sesuai desain, ada tujuh bentang yang dipasang di atas sembilan pilar. Masing-masing bentang berbahan dasar beton pre-stressed. Tiap bentang beton sepanjang 80 meter.

Dari pantauan via helikopter, seluruh bentang memang sudah terpasang di semua pilar. Hanya, pada masing-masing bentang masih belum tersambung satu sama lain. Yang masih harus dilakukan adalah pemasangan lantai concrete box girder yang akan menjadi penyambung.

Pembangunan approach bridge di sisi Surabaya lebih lambat. Dari total tujuh bentang sepanjang 672 meter yang akan dipasang di atas sembilan pilar, belum terlihat alas jembatan yang terpasang di atas pilar-pilar tersebut.

Ashari lalu menjelaskan secara teknis progress report bagian itu. Pelaksanaan fisik di sisi Madura sebagai berikut. Pengecoran box girder (alas jembatan) sudah mencapai 56,9 persen. Saat ini, proses yang sedang dilakukan adalah pengecoran alas jembatan berupa concrete box girder pada pilar 49 sampai 56. Sedangkan penyelesaian pilar sudah 100 persen.

Untuk sisi Surabaya, pekerjaan yang tengah dilakukan berupa pengecoran beberapa pilar yang belum tuntas. Sampai saat ini, pengecoran yang sudah selesai adalah pilar ke 37-44 plus pilar 45 dan 48.

Beragam Kesulitan

Jika dihitung mundur, proyek tersebut sebenarnya dimulai sejak Agustus 2003. Artinya, butuh waktu lima tahun agar proyek tersebut mencapai 90 persen. Tentu bukan waktu yang singkat untuk sebuah proyek jembatan.

Pelaksana proyek mengaku, pengerjaan jembatan sepanjang 5,438 km itu memang cukup lama. Hal tersebut tidak terlepas dari beragam kendala yang muncul di sela-sela pembangunan. Salah satu yang paling menghambat adalah masalah perubahan detail desain Suramadu. Antara 2003 sampai 2006, tercatat ada dua kali revisi.

Pada awal pelaksanaan proyek, desain berasal dari Departemen Kimpraswil. Namun, setelah itu, pemerintah Tiongkok serta Bank Exim of China yang menjadi investor Suramadu minta dilakukan perubahan desain. Dengan demikian, dilakukanlah design proof check.

Hasilnya, ada beberapa perubahan. Terutama untuk fondasi. Rancangan awal, fondasi approach bridge hanya berdiameter 100 cm dengan tinggi 45 meter. Namun, setelah dilakukan DED (detail engineering design) oleh CCC (China Consortium of Chinese Contractor), diubah menjadi berdiameter 180 cm dan 220 cm. Untuk tinggi, di sisi Surabaya ditetapkan 61-93 meter dan sisi Madura 73-94 meter.

Demikian pula dengan main bridge. Rancangan fondasi awal berdiameter 100 cm dengan tinggi 46-52 meter. Setelah itu, diubah menjadi diameter 240 cm dengan tinggi 81,5 meter untuk sisi Surabaya dan 83,5 untuk sisi Madura. "Termasuk, masalah soil investigation (uji kontur tanah) diubah total. Imbasnya, dari hasil penelitian itu, banyak bagian jembatan yang harus diubah," kata Ashari.

Problem lain yang membuat pelaksanaan proyek Suramadu agak tersendat adalah pembuatan fondasi di tiap bagian. Hal itu tidak terlepas dari kesulitan pelaksana proyek untuk mengetahui kondisi tanah di bawah laut Surabaya-Madura.

Dia mencontohkan saat pemasangan casing (tempat khusus untuk masuknya fondasi) ke dasar laut. Tiba-tiba saja struktur tanah di bawah berubah. Alhasil, casing pun harus dibongkar lagi. Malahan, kalau telanjur dicor, cor itu terpaksa dipereteli.

Selain itu, masalah yang cukup pelik adalah sulitnya membuat fondasi. Terutama di sisi approach bridge Surabaya. Di antara sembilan fondasi pilar yang sudah dipasang, ada beberapa pilar yang harus dibongkar lagi oleh pelaksana proyek. Gara-garanya, fondasi itu dianggap tidak lulus uji kelayakan.

Dalam pembuatan fondasi, pelaksana proyek menetapkan prosedur uji kelayakan (reliabilitas). Salah satu yang jadi tolok ukur adalah soliditas (kepadatan) fondasi. Metode yang dipakai adalah ultrasonic test (tes melalui gelombang ultrasonik, lewat alat khusus yang dipasang di fondasi).

Dari metode itu, bisa diketahui apakah fondasi sudah sempurna atau belum. ''Dari situ, ternyata ada beberapa fondasi approach di Surabaya yang harus dibongkar lagi. Malahan, ada fondasi yang terpaksa dibongkar beberapa kali,'' katanya.

Meski demikian, saat ini semua sudah selesai. Praktis, pekerjaan yang memakan waktu tinggal penyelesaian bagian di main bridge.

Guna mencapai target penyelesaian, pekerjaan jembatan terus dikebut. Total, ada 300 pekerja yang dibagi dalam dua sif. "Hanya, terkadang kami sering terkendala cuaca yang tidak memungkinkan atau embusan angin kencang. Jika sudah begitu, mau tidak mau pekerjaan harus dihentikan sementara," jelasnya.

Jika ditotal secara keseluruhan, saat ini progress report proyek Suramadu sudah mencapai 90 persen. Pelaksana proyek Suramadu optimistis semua pekerjaan bisa dituntaskan pada akhir Maret 2009. "Target awal kami tetap. Harapannya, April sudah harus bisa dioperasikan," ujar Kepala Balai Besar Jalan dan Jembatan Nasional V A.G Ismail. (ris/nw)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 30 Desember 2008

Baca juga:
Akses Suramadu Terganjal Lima Rumah
Tertantang Saingi Ketenaran Golden Gate
Usia Suramadu Bisa Seratus Tahun Lebih
Twin Towers di Kaki Jembatan

Pesantren, Benteng Pelestari Bahasa Madura

LEMBAGA pendidikan yang menjadi tumpuan harapan untuk pelestarian bahasa Madura adalah pondok pesantren. Karena sampai saat ini pondok pesantren di Madura masih menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pergaulan, baik antara santri dengan santri maupun antara santri dengan kiai. Termasuk juga penggunaaan bahasa Madura dalam proses belajar-mengajar di pesantren.
Berharap kepada lembaga pendidikan formal umum lainnya, mungkin membutuhkan waktu lama. Namun pesantren selama ini sudah menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar proses belajar-mengajar.

Karena itu wajar jika muncul harapan besar agar pesantren tetap menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar dan bahasa pergaulan. Kondisi ini bisa dijadikan upaya untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Madura. Jumlah pesantren yang sangat banyak di Madura memungkinkan menjadi potensi tersendiri agar bahasa Madura tetap lestari.

KH Muhammad Idris Jauhari MA, Pengasuh Pondok Pesantren Modern Al-Amien Prenduan Sumenep mengatakan, peran pesantren dalam khasanah bahasa Madura sudah ada sejak abad ke -20. Saat itu pengajian kitab kuning di pesantren tradisional tidak lagi menggunakan bahasa Jawa kitabi, melainkan langsung menggunakan bahasa Madura. Bahkan sebagaian kiai biasa menggunakan bahasa Madura karena dianggap lebih bisa mengambarkan makna dhohir dan makna bathin dari kitab kitab yang diajarkannya.

”Bisa dimaknai bahwa di pondok pesantren, bahasa Madura tidak hanya menjadi bahasa pengantar atau alat komunikasi. Lebih jauh dari itu, bahasa Madura di pesantren telah berfungsi sebagai bahasa transformasi ilmu pengetahuan. Artinya bahasa Madura memiliki andil besar terhadap proses intelektualisasi masyarakat Madura, khususnya intern pesantren lewat proses yang seperti itulah kemudian lahir kiai-kiai alim, kharismatik, dan bijaksana di Madura,” katanya.

Langkah penting pesantren di Madura dalam upaya melestarikan dan mengembangkan bahasa Madura, lanjut KH Idris, terlihat dari banyaknya buku atau kitab literatur dalam pesantren yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Madura, misalnya kitab fiqih, tasawuf. Sejumlah kitab yang kini sudah diterjemahkan dalam bahasa Madura antara lain kitab Bidayatul Hidayah, Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Fathul Qarib dan lain sebagainya. Bahkan yang paling mutakhir adalah upaya untuk menerjemahkan Alquran dalam bahasa Madura.

Dalam dunia sastra, pesantren juga menyumbangkan perannya dalam pelestarian sastra Madura. Hal ini dibuktikan dengan adanya karya sastra bernama syi’ir yang selama ini tumbuh berkembang dalam kalangan pesantren. Syi’ir itu adalah karya sastra Madura yang berisi pesan-pesan moral, akhlak bahkan asmara. Salah satunya yang terkenal adalah syi’ir yang ditulis KH As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, pada tahun 1920, yang berbunyi:

Zaman samangken raja fitna. Rakyat sadaja pada sossana. Politik tenggi sulit jalanna. Sangat rumitta raja cobana. Dalem bahasa sala laguna. Da’ ekonomi sangat jatuna. Tambana rakyat sangat banyakna. Jumlana ningkat korang riskina.

(Zaman kini besar fitnah. Rakyat semua pada susah. Politik tinggi sulit berbelit. Sangat rumit besar cobaan. Dalam bahasa kalau salah jalan. Terhadap ekonomi bisa menjatuhkan.Tambahan penduduk semakin banyak. Jumlah meningkat rezeki mengurang).

Pendapat senada dengan KH Idris Jauhari ini diungkapkan Fathorrahman Ustman MPd. Jebolan Pasca-Sarjana Universitas Negeri Jogjakarta ini mengatakan, peran pesantren sudah ada dan akan tetap optimal dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Madura. Menurut dia ada beberapa indikator yang telah dijalankan pesantren dalam pelestarian bahasa Madura.

Antara lain, di pesantren bahasa Madura dijadikan bahasa pengantar sehari-hari. Bagi pesantren, menggunakan pengantar bahasa Madura lebih mudah diterima karena kebanyakan literatur menggunakan kitab kuning. Bahasa Madura juga dinilai lebih efektif dalam mentrasformasikan pesan yang terkandung dalam litrratur di pesantren. (mas)

Sumber: Surabaya, Pos, Senin, 22 Desember 2008

Label: ,

Usai Kongres, Lalu ...?

Kongres Bahasa Madura I, 15-19 Desember usai digelar. Tindak lanjut pun menanti.

KONGRES yang digelar di Pamekasan itu menghasilkan sejumlah rekomendasi. Intinya, sejumlah persoalan, bidang garapan, hingga kebijakan yang harus diambil terutama oleh pemerintah, ada di depan mata.

Salah satu poin permasalahan yang dirumuskan kongres adalah bahasa Madura harus dipertahankan, dibina dan dikembangkan. Rumusan rekomendasi ini tentu ada latar belakangnya, yakni karena selama ini ada kecenderungan orang Madura enggan menggunakan bahasanya sendiri. Bukan hanya karena karena kesulitan untuk menyesuaikan dengan tingkatan tutur (ondagga basa) namun realitasnya banyak orang Madura dan keturunannya yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa Madura dalam kesehariannya.

Itulah sebenarnya yang menjadi keprihatinan dari beberapa pengamat. Salah seorang di antaranya, Drs Achmad Sofyan, Dosen Fakultas Sastra, Universitas Jember. Menurut ia, di kalangan keluarga muda orang Madura perkotaan anak-anaknya sudah jarang dibiasakan menggunakan bahasa Madura, sejak lahir. Mereka banyak menggunakan bahasa Indonesia dengan alasan agar mudah menyesuaikan diri dengan sekolahnya ketika akan masuk TK atau SD yang sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

”Penggunaan bahasa Madura terbatas dalam ranah domestik, dalam keluarga dan bertetangga. Bahkan dalam rumah tangga domestik pun penggunaan bahsa Madura sudah terpengaruh penggunaan bahasa Indonesia. Dengan alasan untuk mempersiapkan kemampuan bahasa Indonesia putera-puterinya sewaktu masuk TK atau SD, keluarga terpelajar Madura tidak lagi menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa pertama yang diperkenalkan pada anak. Yang dijadikan bahasa pertama adalah bahasa Indonesia,” katanya.

Karena itu tidak mengherankan jika Prof. Achmad Mien Rifai mengusulkan, agar bahasa Madura dijadikan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dasar mulai TK sampai SD. Usul ini beralasan karena jika bahasa Madura dijadikan bahasa pengantar pendidikan terutama untuk pendidikan dasar, maka anak akan bisa menguasai secara lebih benar akan bahasa daerahnya. Dan ketika mulai masuk lembaga pendidikan SLTP dan SLTA, anak tinggal menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia.

”Merujuk pada hasil penelitian beberapa peniliti, penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dasar antara 3 sampai 6 tahun akan memberikan hasil yang lebih baik. Karena itu seyogyanya jika bahasa Madura dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam tahapan awal pendidikan dasar kita. Saat ini bahasa pengantar di lembaga pendidikan kita kan harus bahasa Indonesia,” katanya.

Persoalannya, maukah keluarga Madura berupaya menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa ibu atau bahasa yang pertama kali diperkenalkan pada anak-anak mereka? Tentunya tergantung kepada pilihan para orangtua mereka sendiri. Jika orangtua mau melakukannya, apalagi dengan berusaha dengan menggunakan atau biasa mengajarkan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan tingkatan penuturan, maka akan menghasilkan anak atau keluarga yang bisa menggunakan bahasa Madura dengan baik. Jika tidak, tentu saja sebaliknya.

Persoalan berikutnya, salah satu penyebab lunturnya minat bahasa Madura diduga karena karena pengaruh dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar. Jika dugaan itu benar, pertanyaannya, apakah bisa pemerintah daerah mengubah ketentuan itu untuk tidak lagi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar? Tentu jawabannya bisa. Di era otonomi daerah seperti sekarang ini mungkinkan pemerintah daerah membuat kreativitas atau semacam peraturan daerah (Perda) yang mengatur agar bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar di sekolah tingkat dasar. (MASDAWI DAHLAN)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 22 Desember 2008

Baca juga:
Pesantren Benteng Pelestari Bahasa Madura

Meredupnya Spirit Literer Bahasa Madura

Catatan Menyambut Kongres I Bahasa Madura

Oleh: Mohamad Ali Hisyam



klik naskah untuk memperbesar




Sumber: Kompas, 15/12/2008

Label: , ,

Achmad Rifai, Pembawa Materi
Diklat Sertifikasi Guru

Pelobi Cikal Bakal Berdirinya 11 Universitas
di Jawa Timur dan Madura


Permukaan air danau yang tenang tidak akan melatih awak kapal menjadi terampil. Pepatah Cina ini barangkali menjadi cerminan warga Madura yang memberanikan diri berlayar di samudera, bukan di danau. Perjuangan luar biasa dan pengalaman keras pun akhirnya mengantar mereka pada keberhasilan. Mereka punya kemauan dan berani menghadapi tantangan.

Universitas PGRI Adi Buana terletak di kawasan Ngagel Dadi III-B, berdekatan dengan Taman Makam Pahlawan di Jalan Ngagel Jaya, Surabaya. Suasana kampus hari itu memang lebih ramai dari biasanya. Di gedung Pascasarjana terlihat beberapa mahasiwa yang sudah tidak muda lagi tengah menunggu pengesahan kelulusannya. Tampak pula beberapa mahasiswa baru Pascasarjana yang dibimbing oleh seorang petugas untuk keluar masuk ruangan yang harus mereka kenal.

Kampus ini mungkin kurang begitu dikenal oleh masyarakat Madura daripada Unesa, Unair atau ITS. Namun, di kampus ini ada seorang dosen senior dari Kopertis Regional VII yang berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim (Surabaya). Pria ini adalah warga asli Madura kelahiran Aeng Sareh, Sampang. Dia hijrah ke Surabaya sejak 1970 saat melanjutkan pendidikannya di IKIP Surabaya (sekarang Unesa), Fakultas Ilmu Pendidikan di Jalan Pecindilan.

"Kalau Anda tahu sejarah saya pasti terenyuh, sebab waktu ke Surabaya ini saya tidak punya apa-apa kecuali kemauan dan keberanian," ujar Drs H Achmad Rifai, MM., Kons. lantas tersenyum. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Rifai ini menghabiskan waktu belajarnya di Madura. Sekolah dasar dia tamatkan di SDN Camplong, daerah tempatnya dilahirkan. Kemudian melanjutkan di SGB, sekolah untuk mendidik calon guru anak-anak di sekolah dasar. Belum selesai di SGB Sampang, dia meneruskannya di SGB Bangkalan sekaligus menghabiskan masa belajarnya di SPG. Setelah SPG di Bangkalan baru dia hijrah ke Surabaya.

Rifai ditinggalkan ayahnya saat dia berusia 4 tahun, dua tahun kemudian ibunya juga meninggal dunia. Ini yang membuat Rifai harus membiayai semua pendidikannya dengan keringat sendiri. Supaya bisa tetap belajar, ayah 3 anak ini bergabung di organisasi-organisasi kesiswaan. "Saat itu ada GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Organisasi yang lumayan besar dengan anggota yang ada di seluruh Indonesia," kenangnya.

Aktivitas Rifai di organisasi tersebut cukup diperhitungkan. Dia menjadi bagian penting dari organisasi hingga sering didelegasikan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan di luar daerah. "Nah, kalau ada pertemuan di luar daerah kan biasanya dapat sangu. Setelah sampai di tujuan, pulangnya juga dikasih sangu. Sisanya itu yang saya pakai untuk hidup sehari-hari," katanya mengenang perjuangannya di masa sekolah dulu.

Usia putra pasangan almarhum RM Kertodihardjo dan RR Juhamiah ini masih muda saat dia direkrut MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Organisasi ini adalah cikal bakal berdirinya Partai Golkar setelah bergabung dengan beberapa organisasi kekaryaan lainnya. Bergabungnya Rifai di MKGR diawali ketika dia diminta menjadi ketua di departemen organisasinya. Hingga akhirnya, almarhum Bagus Sasmito, pemimpin MKGR, menyadari bahwa Rifai adalah seorang aktivis sejak duduk di bangku sekolah. Maka, dia pun diangkat sebagai sekretaris organisasi tersebut.

"Pak Bagus itu mantan Komandan Korem. Setelah diangkat menjadi sekretaris, saya ditantang membuat konsep untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Katanya karena saya ini mantan aktivis," ungkapnya.

Saat itu, lanjutnya, di Jawa Timur hanya ada beberapa universitas saja. Di antaranya adalah Unika di Kediri dan Unira di Pamekasan. Karena itu, Rifai mengusulkan untuk mendirikan beberapa universitas di Jawa Timur.

Dari puluhan yang diajukan, hanya 11 yang disetujui. Antara lain, Universitas Yos Sudarso, UnGres, Unigoro, Universitas Mayjend Sungkono, Unida, Universitas Sruji Bondowoso, Sunan Bonang, Unibang dan Wiraraja. "Zaman dulu kan tentara payu bicara di mana-mana. Mereka mengusulkan apa saja biasanya disetujui. Makanya saya berani bicara pada bupati-bupati untuk mendirikan universitas," papar dosen FKIP ini.

Di antara 11 universitas yang dia bantu cikal bakal berdirinya, Unibang (sekarang Unijoyo) yang paling dia kenang. "Kalau saya sebut Yayasan Ki Lemah Duwur, orang Unibang pasti akan ingat sejarah pendirian universitas di Bangkalan waktu itu," tegasnya.

Menurut dia, Yayasan Ki Lemah Duwur adalah anak organisasi dari induk yayasan yang dibentuk MKGR dengan nama Yayasan Wali Songo. Nah, dari yayasan tersebut Ki Lemah Duwur kemudian terbentuk. Dengan demikian, Yayasan Ki Lemah Duwur yang menjadi embrio Unijoyo saat ini adalah "cucu" organisasi MKGR. "Beberapa lama setelah Yayasan Ki Lemah Duwur terbentuk, Pak Noer (sesepuh warga Madura dan mantan Gubernur Jatim, Red) datang sebagai penyantun. Sekaligus memermudah kelangsungan hidup Unibang. Pak Noer kemudian menjadi bagian Ki Lemah Duwur," jelasnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber; Jawa Pos, Sabtu, 20 Desember 2008

Label: , ,

Kongres Bahasa Madura: Kurang Media

Bertahan karena Kontrol Sosial

Secara bergurau sebagian orang menyebut etnis Madura sebagai Tionghoa kecil. Maksudnya, sama-sama tersebar di mana-mana. Kalau orang Tionghoa ada di seluruh penjuru dunia, etnis Madura paling tidak ada di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bila orang

Cara-cara membantu Bahasa Madura agar bisa survive, inilah salah satu bahasan utama dalam Kongres Ke-1 Bahasa Madura di Pendapa Ranggasukawati, Pamekasan, Senin-Jumat (15-19/12).

Dibanding dengan bahasa-bahasa lain di Indonesia, bahkan di dunia, Bahasa Madura sebenarnya tergolong paling bertahan. Hampir semua keturunan Madura –bahkan mereka yang bukan kelahiran Pulau Madura sekalipun—bisa dan relatif biasa menggunakannya.

Menurut catatan CIA World Factbook 2008, penutur Bahasa Madura masih sekitar 8 juta jiwa. Menurut sebagian sumber yang hadir di Kongres I Bahasa Madura, penutur bahasa ini mencapai sekitar 13 juta jiwa. Sementara menurut Wikipedia, penutur Bahasa Madura berkisar 8-13 juta jiwa. Klop.

Kemampuan bertahan Bahasa Madura terutama disebabkan oleh kemauan penuturnya untuk terus menggunakan bahasa ibu mereka. Dalam keluarga-keluarga Madura yang melakukan pernikahan campuran antar-etnis pun, biasanya pengajaran Bahasa Madura terhadap anak mereka tetap dilakukan.

Selain itu, dalam forum-forum sosial, Bahasa Madura masih dipakai. Meski pun seringkali diselingi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (atau bahasa lokal lain di daerah tersebut), namun penggunaan Bahasa Madura dalam forum seperti tahlilan, rapat kampung, dan momen sosial lain masih dipakai.

Kegigihan penutur Bahasa Madura untuk menggunakan bahasa ini bisa dilihat hingga ke negeri tetangga. Para pekerja Indonesia Etnis Madura di Malaysia, misalnya, seringkali menyewa satu rumah tersendiri sebagai tempat untuk kumpul-kumpul di akhir pekan. Sekali pun mereka pandai bercakap-cakap dalam bahasa lokal, namun dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya mereka menggunakan Bahasa Madura.

Dengan spontan warga Madura biasanya akan menegur saudaranya yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Teguran ini bahkan sampai ke titik yang lebih ekstrem: dicaci sebagai 'orang sombong' atau 'kacang lupa pada kulitnya' bagi mereka yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Termasuk untuk mereka yang baru pulang dari bekerja di rantau.

'Ja' ala-pola, alakoh ka Jakarta du taon baih la loppah da' bhasanah' (Jangan berlagak, baru bekerja di Jakarta dua tahun saja sudah lupa pada bahasanya sendiri) kalimat peringatan seperti ini biasa terdengar untuk mereka yang tak lagi aktif menggunakan Bahasa Madura. Kontrol sosial seperti inilah yang membantu Bahasa Madura bertahan.

Wikipedia bahkan menyebut Singapura sebagai salah satu wilayah persebaran Bahasa Madura. Ini karena cukup besarnya komunitas Warga asal Bawean di negara pulau itu. Sebagaimana diketahui, Bahasa Madura bukan hanya dituturkan oleh penduduk Pulau Madura, namun juga penduduk Pulau Bawean (di barat Madura) dan penduduk kepulauan di timur dan timur laut Madura hingga sejauh Kepulauan Masalembu. Besarnya konsentrasi penduduk asal Bawean di Singapura inilah yang membuat Wikipedia menjadikan negara pulau itu sebagai salah satu wilayah persebaran Bahasa Madura.

Variasi Tingkatan

Meski tergolong bahasa yang bisa bertahan, namun Bahasa Madura tetap memiliki ancaman. Kendala utama bukan penurunan jumlah penutur, namun penurunan variasi tingkat dan ragam Bahasa Madura yang dikuasai.

Bahasa Madura memiliki tingkatan (ondhaggha bhasa) yang sama dengan Bahasa Jawa. Tingkatan ini mulai engghi bhunten, jenis tingkat tutur yang sama dengan krama inggil dalam Bahasa Jawa, engghi enten jenis tingkat tutur setara krama madya dalam Bahasa Jawa, dan tingkatan enja' iya setara ngoko dalam Bahasa Jawa. Di antara ketiga tingkatan itu, ada tingkatan antara yang oleh generasi muda kian rumit dipahami.

Untuk mengartikan kata 'rumah', misalnya dikenal kata roma (ngoko), compo' (karma madya), hingga dhalem (karma inggil). Untuk menyebut 'Anda', ada edah, sedah, ba'nah, ba'en (ngoko), dua yang pertama banyak dipakai di Bangkalan, dua yang terakhir lebih ke timur. 'Anda' dalam tingkatan yang lebih tinggi berturut-turut adalah sampeyan, panjenengan, dan sleranah. Bahkan ada satu sebutan yang selain tinggi, juga berkonotasi romantis: dikah.

Nah, tingkatan bahasa inilah yang menurut Achmad Sofyan, dosen Fakultas Sastra, Universitas Jember mulai kurang dipahami para penutur Bahasa Madura.

Menurut dia, pada umumnya generasi muda Madura usia 20 sampai 40-an tahun tidak menggunakan tingkatan tutur ini.

”Bila mereka yang berusia 40-an tahun saja sudah tidak bisa menggunakan tutur enggi bunten, bagaimana halnya dengan usia yang ada di bawahnya? Pasti sudah tidak bisa berbahasa Madura dengan baik dan benar. Dalam berbicara mereka sering ta' etemmo karoanna, lik-tabalik ban abhasa ka aba'na dibi' (tidak jelas jluntrung-nya, terbalik-balik, dan seperti berbahasa pada dirinya sendiri),” paparnya dalam Bahasa Madura. Apa penyebabnya?

Terbitan Berbahasa Madura

Prof Mien Achmad Rifai BSc MSc PhD dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan, kemunduran itu disebabkan kebijakan pemerintah dalam empat dasawarsa terakhir yang mengedepankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan.

Akibatnya, Bahasa Madura bernasib sama dengan bahasa daerah lainnya: tidak lagi banyak dikuasai oleh generasi muda.

Kendala kedua, sangat jarang – atau bahkan tak ada - buku atau karya tulis yang dikemas dalam Bahasa Madura. Bahkan penerbitan seperti Panjebar Semangat atau Jayabaya dalam edisi Bahasa Madura sangat jarang ditemui.

Hal ini dibenarkan Sofyan. Dia melihat pembinaan Bahasa Madura di daerah rata-rata sudah berhenti. Banyak media berbahasa Madura yang sempat terbit di daerah kini sudah tak terbit lagi.

”Yang cukup bagus hanya di Pamekasan. Di daerah ini menerbitkan buletin Pakem Maddu masih eksis hingga sekarang. Saya harap daerah lain meneladani Pemkab Pamekasan,” katanya.

Menurut Sofyan, kegiatan pembinaan Bahasa Madura mulai mendapat angin segar sejak didirikannya Balai Bahasa Surabaya tahun 2002. Sejak saat itu sudah dilakukan penyusunaan ejaan Bahasa Madura, sekalipun hingga sekarang belum dibakukan akibat adanya perbedaan antar daerah satu dengan lainnya.

Untuk variasi kata dan hal-hal lain terkait gramatikal, Bahasa Madura memang sangat kaya. Untuk 'singkong' saja, ada yang menyebut bohong, blandong, hingga tenggang.

”Menyedihkan bila mengingat Bahasa Madura yang merupakan bahasa daerah ketiga terbesar di Indonesia namun sampai sekarang belum punya ejaan dan tata bahasa yang baku,” katanya.

Untuk membantu Bahasa Madura eksis dalam seluruh ragam tingkatannya, Mien mengusulkan menjadikan Bahasa Madura sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dasar nasional.

“Beberapa penelitian di luar negeri menujukkan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar memberikan hasil yang lebih baik. Karena itu sebaiknya Bahasa Madura dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dasar,” usulnya.

Sementara kepada para keluarga Etnis Madura, Mien dan Sofyan berharap mereka terus mempertahankan – bahkan memperbaiki — penggunaan Bahasa Madura-nya, sekali pun di saat yang sama mengajarkan Bahasa Indonesia, Bahasa Ingris, atau bahasa lokal lain.

”Peluang perbaikan pengunaan Bahasa Madura ke depan masih sangat luas. Itu terjadi dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah. Pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Kebahasaan yang sedang dipersiapkan juga akan merupakan pendukung yang kuat untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan selama ini,” kata Mien.

Namun hal mendasar yang harus terus diperbaiki adalah tingkat melek huruf dan pendidikan warga Etnis Madura. Tanpa hal ini, sulit untuk melakukan upaya-upaya berbasis teks (bukan hanya lisan). Selanjutnya, Mien dan Sofyan merekomendasikan agar digalakkan publikasi buku-buku dan terbitan tentang dan dalam Bahasa Madura. ”Termasuk buku-buku pelajaran Bahasa Madura,” kata Sofyan. (Masdawi Dahlan/Achmad Supardi)

Sumber: Surabaya Post, Rabu, 17 Desember 2008

Perlu Dewan Bahasa Madura

Kongres Bahasa Madura I yang berlangsung sejak Senin (15/12) lalu ditutup Jumat (19/12) tadi malam. Kongres yang diikuti sekitar 250 peserta itu ditutup secara resmi oleh Wakil Bupati Pamekasan Drs Kadarisman Sastrodiwirjo MSi di Pendopo Ronggosukowati Pemkab Pamekasan.

Ada sejumlah rumusan penting yang direkomendasikan kongres itu. Rekomendasi itu disusun tim perumus yang berjumah 13 orang, dipimpin oleh Prof Dr Mien Achmad Rifai. Rekomendasi hasil kongres itu terbagi menjadi dua bagian yakni bagian permasalahan dan kebijakan.

Yang masuk bidang permasalahan kongres menyimpulkan, bahasa Madura masih belum difungsikan secara optimal, belum adanya pedoman ejaan yang baku, dan belum adanya pedoman pembentukan istilah. Karena itu perlu pembinan dan pengembangan.

Bidang kebijakan kongres merumuskan, tiga bidang yakni, bidang pengkajian, pengembangan dan pembinaan. Bidang pengembangan kongres mengamanatkan, perlunya komputerisasi carakan Madura, perlu revisi atas kamus dan tata bahasa Madura.

Sedangkan bidang pembinaan, menelurkan 13 rekomendasi. Antara lain, perlunya pemberian anugerah bagi orang atau lembaga yang berjasa dalam memajukan bahasa Madura, pembentukan program studi bahasa Madura sebagai pilot proyek di perguruan tinggi tertentu di Madura.

Kongres juga mengamanatkan, agar Pemkab memfasilitasi pembentukan Perda Pendidikan yang mengatur pembinaan bahasa Madura, perlunya dibentuk Dewan Bahasa Madura di Pulau Madura dan daerah lain di mana bahasa Madura digunakan.

Kepada Pemprop Jatim Kongres mengamanatkan agar dilaksanakan Kongres Bahasa Madura secara kontinu lima tahun sekali. Sementara pada pemerintah pusat, kongres mengamanatkan agar dibuka formasi tenaga guru bahasa Madura dalam rekrutmen CPNS. Bahasa Madura wajib diajarkan di lembaga pendidikan tingkat SD sampai SLTA.

Wakil Bupati Pamekasan Drs Kadarisman Sastrodiwirjo mengatakan sekalipun Kongres ini baru pertama kali dilakukan, namun dia menilai berjalan sukses.

”Namun yang paling pokok adalah pada bertahannya para peserta kongres. Ini menunjukkan bahwa memang ada semangat yang bagus untuk pengembangan Bahasa Madura. “Biasanya dalam penutupan yang hadir paling banyak sepertiga. Namun kali ini jumlahnya sama dengan saat pembukaan,” katanya. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Jumat, 19 Desember 2008

Data Buta Aksara Pun Beda

Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sampang, angka buta aksara 2007 masih cukup tinggi, mencapai 28.864 orang. Namun 2008 terjadi penurunan angka yang sangat drastis, warga yang mengalami buta aksara hanya mencapai 4.650 orang, itu pun akhir Desember sudah tuntas.

Padahal, jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2007, angka buta aksara sebanyak 67,33%. Tentu saja akurasi data tersebut tidak main-main, bukan hanya sekadar ingin menyenangkan pihak tertentu, atau malah sengaja ingin mendiskreditkan lembaga lain.

Menurut petugas BPS yang tidak bersedia disebutkan namanya, mengungkapkan, sistem pendataan yang mereka lakukan mengunakan sistem sample 46 blok sensus. Dalam tiap blok petugas mengambil sample sebanyak 16 rumah tangga (RT), sehingga total hasil survei sebanyak 736 RT.

“Standar survei yang kita lakukan mengacu pada ketentuan standar nasional BPS. Jadi tingkat akurasi data dipastikan mendekati valid. Mungkin karena metodologi dalam penerapan yang kita lakukan berbeda dengan dinas terkait, sehingga muncul perbedan angka yang cukup mencolok,” ujarnya.

Ditegaskannya, lembaganya tidak punya tendensi apa-apa dalam melakukan survei tersebut. Ia mengatakan, perbedaan metodologi yang dipakai BPS untuk para responden berusia 10 tahun ke atas, sedangkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, mengunakan responden dengan patokan berkisar usia 10-44 tahun.

Sementara itu Pj Kasubdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Edi Suminto, menyatakan, program pemberantasan buta aksara memang menjadi skala prioritas. Berkat kegiatan yang cukup insten, data garapan buta aksara 2008 hanya 4.640 orang atau berkurang sebanyak 88,6 persen.

“Kegiatan KF yang merupakan tahap dasar, telah tuntas dilaksanakan, dengan melibatkan sejumlah LSM, Organisasi Kemasyarakat (Ormas), seperti Tim Penggerak PKK, Muslimat NU, Wanita Tani, maupun Pondok Pesantren (Ponpes). Kini program 2009, adalah mendapatkan sertifikat melek buta aksara, setelah WB menerima 3 sertifikat sukma, baru melanjutkan ke program Kejar Paket A,” jelas Edi.

Program pemberantasan buta aksara ternyata mendapat dukungan dari berbagai pihak, mulai dari segi pendanaan maupun pelaksanaan. Dari dana APBD 2007, mendapat alokasi dana sebesar Rp 1,7 miliar. Kucuran bantuan dana APBN senilai Rp 3,2 miliar.

Sedangkan Pemerintah Propinsi (Pemprop) Jatim, telah mengalokasikan bantuan dana APBD bagi 280 warga yang mengalami buta aksara, serta bantuan tenaga pengajar dari berbagai perguruan tinggi, di antaranya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, dan Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Bangkalan.

“Berkat bantuan dana dan tenaga dari berbagai lembaga, angka buta aksara mengalami penurunan yang cukup signifikan jika dibandingkan 2006 lalu yang mencapai 33.090 penduduk. Ini membuktikan pada 2007 telah terjadi pengurangan angka buta aksara sebanyak 4.226 penduduk,” katanya.

Ketua Komisi D DPRD Sampang, Imam Ubaidillah mengatakan, komitmen dalam penanggulangan program pemberantasan buta aksara, yang sangat memprihatinkan itu tidak hanya tanggung jawab dinas terkait. Tapi juga merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat, misalnya Muslimat NU dan Aisyiyah yang cukup konsisten dalam memerangi buta aksara.

“Persoalan di bidang pendidikan memang menjadi skala prioritas Komisi D, sehingga kita berupaya mem-back-up penuh soal anggaran di bidang tersebut. Mengingat angka buta aksara yang masih tinggi menjadi keprihatinan kita bersama,” tukasnya. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Kamis, 18 Desember 2008

Miskin Picu Buta Aksara

Kemiskinan dan minimnya sarana pendidikan mendongkrak angka buta aksara di Sampang.

SEORANG ibu yang telah berusia senja, terlihat serius membaca sepotong kalimat di papan tulis. Dengan susah payah ibu itu berusaha membaca dengan cara dieja dan terbata-bata. Sambil dibimbing tutor yang cukup sabar dan telaten menuntun ibu tersebut, akhirnya sang ibu bisa tersenyum puas karena telah mampu menyelesaikan membaca sebaris kalimat.

Sementara ibu-ibu yang lain, sambil duduk lesehan begitu tekun menyimak pelajaran membaca dan menulis yang disampaikan oleh seorang tutor. Terkadang ada yang mengacungkan tangan, menanyakan cara mengeja sebuah tulisan yang sulit mereka baca. Padahal, bagi anak usia Sekolah Dasar (SD) kelas 2, tulisan itu sangat gampang untuk dibaca.

Pemandangan yang kadang terlihat lucu dan sangat menggelikan itu, merupakan salah satu bentuk kegiatan Keaksaraan Fungsional (KF) yang dilaksanakan oleh Tim Penggerak (TP) PKK Kec. Sampang, dalam membantu pemerintah untuk melaksanakan program pemberantasan buta aksara.

Hj Enny Kusrini, Ketua Tim Penggerak PKK Kec. Sampang, menuturkan, untuk menarik minat warga agar mau belajar membaca dan menulis sulit sekali. Mereka menganggap kegiatan itu hanya buang-buang waktu saja dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Lebih baik mereka membantu suami di sawah atau memasak di dapur.

Berbagai trik dilakukan oleh istri Camat Sampang, Drs H Yuliadi Setiawan itu, untuk mengajak warga agar mau hadir dalam kegiatan belajar membaca. Di antaranya, membawa bingkisan mie instan atau dengan cara memberikan peralatan memasak, sehingga dapat memancing motivasi minat warga untuk belajar.

“Awalnya, saya memberikan sebuah motivasi dengan cara menceritakan tentang kisah dua orang laki-laki. Seorang bernama Samin yang menderita penyakit kencing manis, serta Simin yang terkena liver. Mereka berdua datang ke apotek untuk membeli obat. Nah, saat Samin yang dipanggil karena namanya hampir mirip, ternyata malah Simin yang datang. Karena tidak bisa membaca Simin akhirnya meninggal, akibat salah minum obat dari resep obat yang dia terima,” tutur Enny.

Dari cukilan cerita tersebut, Enny ingin memberikan suatu motivasi kepada kelompok wajib belajar (WB) buta aksara dengan usia mulai dari 16-50 tahun tersebut, bahwa manfaat membaca dan menulis itu sangat penting sekali dalam kehidupan sehari-sehari.

Enny pun telah berhasil menggelindingkan KF sejak 2007 lalu. Dimulai dengan 21 kelompok wajib belajar (WB) pada 2007, kemudian pada 2008 sebanyak 6 kelompok WB dapat dibentuk dalam waktu yang sangat pendek, selama 6 bulan.

“Selama 2007 sampai 2008, Tim Penggerak PKK telah menuntaskan warga melek huruf dan angka sebanyak 405 orang. Namun sebenarnya di sejumlah kelurahan masih banyak permintaan dari warga yang ingin belajar membaca dan menulis, tetapi karena dana bantuan dari APBN dan APBD sudah tidak dikucurkan lagi, karena program itu dianggap sudah tuntas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga kami terpaksa tidak melanjutkan lagi,” katanya. (ACHMAD HAIRUDDIN)

Sumber: Surabaya Post, Kamis, 18 Desember 2008

Baca juga:
Data Buta Aksara Pun Beda

Rekomendasi Kongres I Bahasa Madura
di Pamekasan

Perlu Komputerisasi Carakan,
Amanatkan Revisi Kamus Bahasa Madura


Kedudukan Bahasa Madura yang belum difungsikan secara optimal menjadi motivasi awal digelarnya Kongres I Bahasa Madura. Kemarin kongres telah usai. Apa saja hasilnya?

KONGRES I Bahasa Madura yang digelar 15 sampai 19 Desember 2008 telah menghasilkan beberapa rumusan. Untuk menghasilkan rumusan, 223 peserta dibagi dalam komisi A dan B. Komisi A membahas pengkajian dan pengembangan bahasa, komisi B membahas pembinaan dan pengajaran.

Selama empat hari melakukan pembahasan, akhirnya kemarin tim perumus Kongres I Bahasa Madura membeberkan hasilnya. Kutwa saat membacakan rumusan hasil kongres memaparkan, pada item pengkajian, pemerintah kabupaten/kota perlu memfasilitasi pengkajian penerjemahan dan penertiban Bahasa Madura. Terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pelestarian karya sastra tradisional dan keagamaan.

"Kongres juga mengamanatkan pada pemerintah untuk melakukan penelitian tentang laras-laras (register) yang diperlukan masyrakat Madura dalam kaitannya dengan pemekaran kosa kata bahasa Madura," jelasnya.

Dari sisi pengembangan, lanjut Kutwa, perlu dibuatkan pedoman pembentukan istilah bahasa madura yang memungkinkan kosakata Bahasa Madura berkembang sesuai dengan kemajuan ilmpu pengetahuan, sastra dan budaya.

"selain kongres mengamanatkan pada balai Bahasa Surabaya untuk mengesahkan ejaan bahasa madura yang disempurnakan sesuai dengan prosedur kaidah bahasa baku. Yang terpenting perlu diupayakan komputerisasi carakan Madura," tegasnya.

Carakan Madura, lanjutnya, jika direalisasikan akan menjadi suatu kebanggaan yang tak bisa dinilai dari segi materi. Malahan, akam menjadi suatu identitas Madura bahwa Bahasa Madura juga punya power. Selain itu, kongres bahasa Madura juga mengamanatkan agar tata bahasa madura dan kamus bahasa madura segera direvisi oleh balai bahasa Madura.

Kutwa melanjutkan, untuk hasil rumusan dalam bidang pembinaan ada 13 item yang perlu diperhatikan. Yakni, perlu adanya pemberian anugrah pada perorangan atau lembag yang memajukan bahasa madura dan sastra madura. Selain itu, bisa meningkatkan frekuensi penyelenggaraan kegiatan dan lomba kebahasaan dan kesastraan madura.

"hal lain seperti perlu dibentuk lembaga konsultasi, membuka program study di perguruan tinggi, perlu adanya perda pendidikan yang mengatur pembinaan dan pengembangan bahasa termasuk penyusunan kurikulum juga termausk pada item pembinaan," jelasnya.

Selain itu, kongres menyarankan dibentuknya Dewan Bahasa Madura yang ikut membina dan mengembangkan bahasa Madura sekaligus berfungsi sebagai Tim Pokja Kongres. Dimana, kongres juga mengamanatkan untuk membuka formasi tenaga pendidik bahasa Madura.

"Yang terpenting, ini kongres harus dilaksanakan secara periodik 5 tahun sekali," cetusnya.

Dari hasil tersebut, kongres bahasa madura juga harus bisa diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah di daerah mayoritas berpenduduk Madura. Selain itu, pemkab harus bisa memerbanyak frekuesnsi penyajian bahasa madura melalui media massa baik cetak dan elektronik.

"Yang terakhir, kongres mengamanatkan agar pemkab memfasilitasi sarana dan prasarana paguyuban sanggar kebahasaan dan kesastraan Madura," bebernya.

Setelah membacakan hasil rumusan Kongres I Bahasa Madura kemarin sore. Tim Perumus memberikan hasil tersebut pada Wakil Bupati Kadarisman Sastrodiwirdjo.

Menurut Dadang-sapaan akrabnya, tiada pesan yang tidak usai, tidak ada perjumpaan yang tidak selesai. Untuk itu pemkab berterimakasih dan bangga pada sejumlah panitia dan peserta yang telah menyukseskan acara Kongres I Bahasa Madura kali ini.

"Saya sangat berterima kasih khususnya pada peserta yang berasal dari luar Madura. Dimana, saya tidak pernah melihat saat pembukaan peserta penuh sesak dan penutupan pun tetap penuh. Yang tidak saya mengerti, penyusunan hasil rumusan saat ini diketik komputer. Beda dengan yang dulu yang ditulis dengan tangan. Berarti tim perumus saat ini satu hati," ungkap Dadang yang disambut aplaus. (HARISANDI SAVARI)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 19 Desember 2008

Pengalaman Religi Dr Ir Muhammad Taufik

Uji Keimanan di Negara Modern

Pernah menimba ilmu di luar negeri memberikan pengalaman spiritual tersendiri bagi Dr Ir Muhammad Taufik. Pada 1987-1994, pengajar program studi teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS itu berkesempatan menempuh pendidikan S2 sekaligus S3 di Universit� de Nice Sophia Antipolis, Prancis.

Banyak godaan yang dirasakan Taufik saat itu. Mulai berangkat, di dalam pesawat dia dengan mudah melihat banyaknya pasangan berciuman. "Saya sampai sempat ragu tetap melanjutkan pendidikan ini atau tidak ya," tutur ayah lima anak tersebut mengenang.

Taufik mengaku belum siap menghadapi perbedaan budaya yang begitu terasa. Terlebih, begitu sampai di negeri mode, pemandangan serupa itu malah berada di mana-mana. Seorang teman sempat bertanya, apakah dia sudah berkeluarga atau belum. "Begitu tahu saya sudah menikah, teman itu malah bilang, sayang sudah nikah. Kalau belum, kan lebih enak," kata Taufik menirukan ucapan temannya. Taufik tahu ke mana arah pembicaraan tersebut. Kegundahannya untuk terus melanjutkan studi lagi atau tidak tumbuh lagi.

Namun, taufik, mengaku banyak mendapatkan pertolongan. Di tengah perasaan bingung, seorang profesor pembimbingnya mengenalkan dia dengan salah seorang mahasiswa muslim. "Profesor saya bilang, itu dia lakukan supaya saya betah di sini," kenang pria kelahiran Bangkalan, 19 September 1955 tersebut.

Dari situlah awal mula Taufik mulai mengenal mahasiswa muslim di Prancis. Lambat laun, Taufik mulai bergabung dengan perkumpulan mahasiswa muslim. Mulai jadwal salat hingga tempat-tempat makan yang bisa didatangi dia dapatkan dari teman-temannya di sana.

Ada pengalaman yang tidak bisa Taufik lupakan mengenai beribadah di Prancis. Di negara romantis itu, amat jarang terdapat masjid. Kalaupun ada, jaraknya agak jauh dari kampus. Bersama temannya, Taufik salat di dalam kelas atau laboratorium. "Ya dengan agak sembunyi-sembunyi," ujarnya.

Suatu saat, profesor pembimbing Taufik melihatnya salat. Karena tidak tahu itu gerakan apa, dia memanggil-manggil dan mencolek Taufik. "Waktu saya sujud, dia kira saya nangis dan sedang home sick," tutur wakil ketua Majelis Pendidikan Dasar Menengah Muhammadiyah 2 wilayah Jawa Timur itu.

Taufik tidak menghiraukan panggilan profesor tersebut. "Dia sempat tersinggung. Tetapi, setelah saya jelaskan bahwa tadi sedang beribadah, profesor saya mengerti dan justru meminta maaf," tuturnya.

Di lain acara, karena tahu Taufik muslim, profesor tersebut khusus menyediakan jus jeruk dan minuman bersoda. Bahkan, saat istri Taufik menjenguknya ke Paris dan bertamu ke rumah pembimbingnya, sudah tersedia jus jeruk. "Istri pembimbing itu sampai bilang, Anda tamu istimewa karena suami saya sampai khusus menyediakan ini untuk Anda," tirunya.

Istri Taufik berkunjung untuk meyakinkan diri bahwa suaminya tidak berbuat macam-macam di sana. "Setelah beberapa lama istri saya tinggal dan mengetahui kegiatan saya di Prancis, dia semakin percaya dan tidak takut lagi suaminya sendirian di sini," ujarnya lantas tertawa kecil.

Pengalaman yang juga teringat adalah saat dia menunaikan ibadah puasa di Nice. Kalau tiba musim panas, jarak waktu imsak dengan buka sangat lama. "Bukanya bisa jam sebelas malam, Mbak," kenangnya. Sebaliknya, saat musim dingin justru waktu puasanya sebentar. "Imsak jam delapan pagi, buka jam lima sore," imbuhnya.

Semua pengalaman selama di Nice sangat melekat di ingatannya. Taufik mengakui bahwa pengalaman religiusnya di negara dengan luas terluas di Eropa tersebut merupakan ujian keimanan untuknya. Karena itu, dia mensyukuri bahwa perjalanan studi tersebut. Dia mengganggap, perjalanan itu merupakan salah satu hal yang sudah diatur oleh Tuhan. "Saat saya pulang, seperti ada yang hilang," ucapnya. (war/ayi)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 19 Desember 2008

Label: ,

Mengurai Kearifan Politik Lokal Orang Madura #3 (habis)

Carok Bukan Kekerasan Atas Nama Politik

Stigma kekerasan sangat melekat pada orang Madura. Beda pendapat sedikit, berakhir dengan darah. Pilkada Jatim III di Bangkalan dan Sampang pun dibayangkan berdarah-darah. Ditambah tradisi carok yang masih dipahami secara salah.

Budayawan Ayu Sutarto membagi Jawa Timur dalam sepuluh telatah atau kawasan kebudayaan. Telatah besar ada empat, yakni Jawa Mataraman, Arek, Madura Pulau, dan Pandalungan. Sedangkan telatah yang kecil terdiri atas Jawa Panoragan, Osing, Tengger, Madura Bawean, Madura Kangean, dan Samin (Sedulur Sikep). Bangkalan dan Sampang masuk dalam telatah Madura Pulau.

Madura Pulau pada umumnya masih dalam tradisi lisan dan bukan tradisi tulis. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih serem daripada tulis. ”Bahayanya di situ, mereka tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih dipercaya,” ujar Sutarto.

Hal itu mendukung persoalan psikologis yang membuat orang Madura mengalami erosi kepercayaan pada kekuatan yang mengatasnamakan rakyat. Akibatnya mereka tak datang ke TPS saat pemilu. Karena selain capek, mereka semakin mempercayai pembicaraan bahwa politisi hanya memberi janji.

Namun beberapa kejadian terkait peristiwa kekerasan pada pemilu 1997 dan sebelumnya, seolah kontra indikasi dengan fakta di atas. Namun Ayu Sutarto dan Latief Wiyata, keduanya membantah bahwa kekerasan itu didasarkan pada karakter orang Madura. Mereka menandaskan bahwa tradisi kekerasan itu terjadi dimana-mana. Dan tidak adil menyematkan Madura identik dengan budaya kekerasan.

Orang sudah mencap Madura itu secara tidak adil. Citranya, Madura itu keras, temperamental, padahal tidak begitu. ‘’Madura itu bisa sangat halus, sangat loyal. Mereka terbagi beberapa kearifan lokal, dan itu tetap memegang peranan,” kata Latief penusli berjudul Carok itu.

Di banyak daerah juga banyak kekerasan sperti di Pasuruan, Bondowoso, Banyuwangi, dsb. Dan kekerasan yang terjadi di Madura bukan karena berlatar tradisi carok. ”Saya tidak melihat ada benang merah antara kekerasan dengan carok. Pilkada ini kan masalah kepentingan, nah kalau carok kan masalah martabat,”tambah Latief Wijaya.

Ada istilah di Madura poteh mata poteh poteh tolang angok potena tolang, lebih baik mati berputih tulang daripada menanggung malu. ”inikan kearifan mereka,” ungkap Sutarto. ”Pilkada itu sudah lain. Para politisi itu menggunakan yang kuat dan yang sakral dalam rangka untuk mengumpulkan suara. Dan itu terjadi di mana-mana. tukang jagal, satgas. lalu tokoh-tokoh kharismatis itu fenomena yang sangat umum sekali,” lanjutnya.

Latief mempertegas, carok itu sebenarnya lebih pada rasa malu secara individual tidak pada kelompok. Jadi kalaupun terjadi kerusuhan masal, menurut Sutarto dan Latief meyakni itu bukan carok. Itu hanya amok saja karena kepentingan politik yang katakanlah ada semacam provokasi.

Nah ketika orang madura secara individual itu terlecehkan harga dirinya, maka timbullah carok untuk membela harga diri individual dan keluarga bukan kelompok yang lebih besar apalagi ini kelompok politik yang katakanlah figur-figur cagub. ‘’Saya tidak yakin akan terjadi carok. Kalaupun terjadi kekerasan itu hanya amok saja,’’ pungkas Sutarto.

Carok biasanya dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Latief antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over. Sehingga dalam hal ini, kekalahan calon pemimpin dalam pemilu bukanlah faktor bagi orang Madura untuk melangsungkan carok. Tetapi kekerasan itu hanya amok.n

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 9 Desember 2008

Mengurai Kearifan Lokal Orang Madura #2

Kemandirian dan Kepatuhan yang Tak Tersekat Ruang

Meski memiliki kepatuhan tinggi pada kiai, namun dalam politik, angka golput di Madura masih tinggi. Berikut ini fenomenanya.

Oleh: Kumara Adji

Pada pemaparan sebelumnya, terurai bahwa di Madura ada banyak sekali figur semacam Sri Sultan Hamengkubuwono. Karenanya berbicara tentang pengaruh di Madura pada dasarnya tidaklah monolitis.

Yang patut diperhatikan, tentu saja soal pemimpin keagamaan di Madura; kiai dan guru tarekat merupakan inti dari hubungan sosial Madura. Dan figur-figur tersebut tidak membentuk satu hirarki. ‘’Biasanya satu figur menurut komunitas tertentu itu baik untuk diikuti, mereka akan ikut,” ujar Latief.

Fenomena yang jamak terjadi di Madura adalah masing-masing orang bebas untuk memilih figur dan tidak tersekat oleh ruang. Sehingga dalam satu kampung tidak harus mengikuti satu figur tertentu. Mereka mempunyai prinsip, yang dalam bahasa Madura itu aguru atau berguru.

Orang madura bebas memilih mau berguru pada kiai siapa tergantung dirinya sendiri. Mereka akan berguru pada orang yang tingkat keagamaannya sudah tinggi dan tidak harus dari tempat dia tinggal. ‘’Jadi panutan itu sangat lokal, namun terfragmentasi, terkonsentrasi,” tandas Latief. Dengan demikian, mendekati seorang kiai saja tidak cukup. Jadi harus di lihat dulu peta ketaatan orang Madura pada kiai yang mana. Itu jika kiai ditarik pada kepentingan politik.

Peran kiai di Madura dalam mengendalikan peran partisipasi politik publik masih tinggi. Ini menjadi salah satu kearifan lokal yang masih berlaku. Namun, budayawan asal Jember Prof. Ayu Sutarto menambahkan tidak hanya kiai, namun juga unsur lain.

‘’Sekarang tokoh panutan itu sudah berkembang. Artinya bukan lagi kiai, bukan hanya keluarga besarnya, tapi juga ada kelompok-kelompok kalangan tertentu orang-orang yang dianggap kuat. Seperti orang-orang yang punya kekuatan kanoragan. Bukan saja orang yang dikeramatkan,” ungkapnya.

Karena itu, KaJi dan KarSa akan memanfaatkan betul potensi yang ada untuk menangguk suara sebesar-besaranya dalam Pilkada putaran tiag yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, Selasa (2/12), di dua kabupaten itu.

Meski memiliki kepatuhan tinggi pada kyai, namun faktanya golput menjadi satu fenomena tersendiri karena jumlahnya yang besar. Jumlah golput di Bangkalan mencapai 224.272 orang atau 33,59%. Sedangkan di Sampang sebanyak 162.751 atau 27,52%.

Bagaimanapun, kini di Madura telah terjadi semacam erosi kepercayaan. mereka tidak percaya lagi pada kekuatan-kekuatan yang mengatasnamakan rakyat. Para politisi itu tidak kredibel lagi membawa aspirasi rakyat. Akhirnya mereka tidak datang ke TPS.

‘’Ini kan tidak bagus dalam demokrasi,” ujar Sutarto menjelaskan. ‘’Mereka menjadi golput karena capek dalam kacamata politik. Mereka jenuh, mereka tidak percaya lagi pada politik, bahwa kekuatan politik itu tidak bisa menjawab persoalan-persoalan sosial yang mendera mereka,” ujar Sutarto yang baru-baru ini melakukan survei ke Madura.

Akibat kelelahan politik itu, ada kecenderungan orang-orang untuk tidak lagi mematuhi para tokoh di daerahnya. Mereka yang tetap setia itu yang punya ikatan emosional, misalnya santri-santri para kiai, dan ada kekerabatan antara kiai satu dengan lainnya. Ada para santri yang mendirikan pesantren, kemudian kiai yang satu berbesanan dengan kiai yang lain. "Nah orang-orang yang punya ikatan emosional itu. dan jalur jalur itu sangat kuat,” paparnya.

Menurut Sutarto, sudah ada persoalan psikilogis sehingga orang Madura menjadi golput. Apalagi mereka masih berada dalam tradisi lisan dan bukan tradisi tulis, cerita dari mulut ke mulut itu lebih serem daripada tulis. ”Bahayanya di situ, mereka tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Cerita dari mulut ke mulut itu lebih dipercaya,” ujarnya. (bersambung)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 6 Desember 2008

Mengurai Kearifan Lokal Orang Madura #1

Bersikap Pragmatis, Loyal pada Kiai

"Poteh mata poteh tolang angok potena tolang.” Itulah slogan orang Madura untuk menunjukkan harga dirinya. “Putih mata putih tulang, lebih baik putih tulang” memberi makna daripada malu lebih baik mati.

Oleh: Kumara Adji

Menarik untuk mencermati bagaimana karakteristik budaya politik orang Madura, mengingat Madura kini menjadi sorotan. Dua kabupatennya, Bangkalan dan Sampang, hingga Januari 2009 menjadi 'medan pertempuran' terakhir bagi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KaJi) dan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa).

Pilgub di Jatim ini menjadi istimewa. Tidak sama dengan Pilgub di daerah lain. Jika Pilgub di seluruh Indonesia hanya dua putaran, tapi di dua kabupaten itu hingga putaran ketiga. Lebih istimewa lagi, di Sampang dan Bangkalan, telah beberapa kali mengalami perulangan juga pada periode pemilu sebelumnya.

Namun, benarkah ada kaitan antara konstruk budaya Madura dengan tradisi politiknya?

Ada banyak predikat stigmatis yang melekat dalam diri orang Madura. Stereotip orang Madura bertemperamen tinggi, agresif, cepat marah dan berani. Orang Madura dikenal sebagai orang yang kolot, pengkuk (sulit menerima perubahan), dan terutama memiliki karakter keras yang ditakuti. Ditambah lagi dengan tradisi carok (duel dengan celurit hingga mati) yang mengindikasikan kekerasan orang Madura.

Mungkinkah berbagai hal itu menjadi dasar sehingga orang Madura bisa dibilang ruwet oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (Suarbaya Post (04/12)) pada persoalan pilkada tersebut?

Madura memiliki eksotika budaya tersendiri. Dan menilik nama Madura, sekilas menumbuhkan kesan secara politik bahwa orangnya pasti memiliki budaya politik satu loyalitas terhadap satu figur tertentu di kampungnya sendiri. ”Kenyataannya tidak,” sanggah antropolog budaya Madura Dr. A. Latief Wiyata. ‘’Menurut saya orang madura itu sangat pragmatis,” tegasnya.

Memang benar orang Madura loyal pada kiai, namun ”Loyalitas itu tersebar, tidak tersekat geografis,” tandasnya. Dan ini menjadi kearifan lokal Madura.

Setelah melakukan penelitian sejak 1995, Latief menarik satu perspektif, bahwa tidak semua figur bisa ditaati oleh semua orang madura. Ini karena figur panutan di Madura itu sangat lokal. ‘’Ini adalah kesalahan banyak orang bahwa seorang Madura itu langsung seragam menunjukkan loyalitas pada figur tertentu. Tidak,” ujarnya.

Latief memberi contoh: KH Alawy Muhammd. Dia menjadi figur karena faktor-faktor tertentu dan menjadikannya tokoh nasional. Tapi tidak semua orang Madura menganggapnya sebagai figur. ”Orang Sumenep belum tentu loyal pada dia, demikian juga orang Bangkalan. Bahkan orang Sampang sendiri belum tentu menjadikan Kiai Alawy sebagai panutan,” tegasnya.

Hal itu menggambarkan loyalitas orang Madura pada satu figur sangat lokal dan sangat kontekstual. Karena seorang kiai yang menjadi figur di satu tempat tidak otomatis menjadi figur juga di tempat lain.Harus dicermati dulu faktor apa dan konteks apa mereka loyal pada satu figur. ‘’Mereka terutama loyal dalam konteks agama’’.

Latief menambahkan, ada banyak figur yang bertebaran di seluruh Madura sehingga tidak ada figur tunggal. Ini sangat berbeda dengan Jawa, misalnya di Jogjakarta. Di sana ada figur tunggal raja, misalnya Sri Sultan Hamengkubuwono X. Hampir semua orang Jawa yang ada di Jogja itu taat pada Sultan. ”Tetapi di Madura itu banyak sekali figur semacam itu. Dan figur-figur itu tidak membentuk satu hirarki. Biasanya satu figur menurut komunitas tertentu itu baik untuk diikuti, mereka akan ikut,” ujarnya. (bersambung)

Sumber: Surabaya Post, Jumat, 5 Desember 2008

Label: , ,

Belajar IPA via Karapan Sapi

SALAH seorang guru berprestasi, yang diidamkan dunia pendidikan di Bangkalan adalah Drs Imam Muslich, guru IPA SD Pejagan 2 Bangkalan. Imam merupakan salah satu finalis lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tingkat nasional tahun 2008.

Ia satu-satunya peserta guru SD dari Madura, di antara 6 peserta tingkat SD dari Jawa Timur. Lomba yang diadakan setiap tahun ini diselenggarakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Sosok guru seperti Imam tidak hanya mengajar secara teoritis di depan para siswanya. Saat mengajarkan tentang pengaruh gaya pegas dan gaya gesek pada benda misalnya, Imam menggunakan alat peraga berupa sapi-sapian.

Tengoklah bagaimana Imam saat mengajar 40 siswa kelas VI di SDN Pejagan 2 Bangkalan. Awalnya, para siswa diajak bergotong-royong memindahkan beberapa meja. Gabungan meja itu dijadikan arena permainan karapan sapi-sapian.

Sapi-sapian itu terbuat dari pecahan genteng (tembikar), sementara kayu kecil untuk keleles (pasangan)-nya, juga ada pegasnya dari karet.

Tembikar ini ada yang dibuat bulat total. Lainnya bulat bergerigi dua, bulat bergerigi empat, dan bulat bergerigi enam dan delapan. Gerigi ini untuk membuktikan daya geseknya.

Siswa dengan bergerombol di pinggir arena karapan sapi, bersiap-siap membuktikan teori pelajaran IPA yang telah didapat. Guru Imam Muslich meminta beberapa siswa agar agar memutar gerigi yang dihubungkan dengan pegas di keleles karapan sapi. Pertama dengan putaran 5, 10, 15.

Dalam praktik itu, tembikar yang digunakan polos. Semakin banyak memutar pegas, semakin cepat lari sapi-sapian itu.

“Ini apa artinya?” tanya Imam. “Semakin banyak pegas diputar semakin kuat pengaruhnya," jawab seorang murid.

Sedang untuk membuktikan gaya gesek, tembikar yang digunakan bergerigi 2, 4, 6, dan 8. Semakin banyak gerigi tembikar, gerakan sapi-sapian semakin lambat. “Ini pengaruh dari gaya gesekan,” terang Imam.

Metode mengajar yang diterapkan Imam ternyata menyedot perhatian siswa. Siswa pun terlihat tidak bosan karena diajak belajar sekaligus bermain sapi-sapian. Apalagi karapan sapi demikian melekat pada keseharian masyarakat Madura.

Kebetulan pada praktik teori pengaruh gaya pegas dan gaya gesek, disaksikan Kadinas Pendidikan, Drs H Setijabudi NK, MM, Kepala Sekolah SDN Pejagan 2, Drs Jumali.

Kepala Dinas Pendidikan Bangkalan, Drs H Setijabudi NK MM mengatakan, keikutsertaan salah satu guru SD di Bangkalan dalam lomba tingkat nasional, membawa nama baik daerah ini terutama di dunia pendidikan. “Ini juga berkat peran serta Bapak Bupati Fuad Amin yang selalu memberikan dorongan pada guru agar bisa berprestasi dengan baik,” katanya. (kas)

SSumber: Surabaya Post, Rabu, 17 Desember 2008

Label: , , ,